Sabtu, 06 September 2008

Sertifikasi Hasil Riset Tertahan

Tidak Perlu Dibentuk Lembaga Konsorsium Riset
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

Jakarta, Kompas - Upaya pemerolehan sertifikasi hasil riset tanaman pangan berupa padi varietas tahan hama penggerek oleh LIPI sejak 2004 hingga sekarang masih tertahan. Uji lapangan sedikitnya di 20 lokasi belum membuahkan kejelasan pengeluaran sertifikasi yang menjadi kewenangan Departemen Pertanian.

”Varietas padi tahan hama penggerek itu tidak akan pernah dilepas kalau belum memperoleh sertifikasinya,” kata Kepala Bidang Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual pada Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Subiyatno, Kamis (4/9) di Jakarta.

Menurut Subiyatno, varietas padi tahan hama penggerek itu merupakan yang pertama kali dihasilkan. Saat ini pengembangan riset padi yang dilakukan di LIPI masih dilanjutkan untuk mendapatkan varietas tahan terhadap ancaman kondisi ekstrem, seperti kekeringan atau banjir.

Riset sendiri

Secara terpisah, Kepala LIPI Umar Anggara Jenie menyatakan, selama ini riset tanaman pangan yang dilakukan LIPI bukanlah atas permintaan departemen terkait. Pihaknya melakukan riset atas inisiatif sendiri.

Namun, memang terjadi kendala pada upaya menyajikan hasil-hasil riset tersebut kepada publik karena harus melibatkan departemen teknis lainnya.

”Riset tanaman pokok pangan sangatlah penting agar tak masuk perangkap pangan yang secara tak sadar menimbulkan ketergantungan pada negara lain. Tetapi, kemauan politik sampai kini tak diarahkan ke situ,” katanya.

Tak perlu lembaga baru

Asisten Deputi Urusan Perkembangan Ilmu Hayati Kementerian Negara Riset dan Teknologi Prasetyo Sunarso mengatakan, saat ini dibutuhkan jalur komunikasi yang baik antarlembaga riset dengan departemen teknis.

Menurut Prasetyo tidak perlu lagi membentuk konsorsium teknis dalam bentuk lembaga baru.

”Masalah yang muncul sekarang antara lain pada mekanisme pemberian hasil riset atau estafet hasil penelitian dari lembaga riset ke departemen teknis. Hendaknya ini yang menjadi pembahasan Dewan Riset Nasional (DRN),” kata Prasetyo.

Dia juga mengungkapkan, riset tanaman pangan saat ini dihadapkan pada kendala uji multilokasi. Lembaga riset sering terkendala untuk melaku- kan itu karena mahal. Biaya tersebut bisa mencapai Rp 800 juta.

”Uji multilokasi semestinya menjadi tanggung jawab departemen teknis yang khusus menanganinya,” kata Prasetyo. (NAW/YUN)

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Petani Membakar Tanaman Tebunya

20.000 Ton Gula Rafinasi di Makassar Gagal Disita
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Puluhan petani tebu di Desa Tanggul Kulon, Kecamatan Tanggul, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis (28/8) pagi, membakar tanaman tebu di ladang mereka. Tindakan itu sebagai protes terhadap sikap pemerintah terkait membanjirnya gula rafinasi.

Berdasarkan pengamatan Kompas, pembakaran dilakukan di bagian pinggir ladang sehingga hanya membakar tiga hektar tanaman tebu dari 10 ha yang siap panen. Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Arum Sabil, pembakaran akan semakin luas jika masalah yang ada tidak diselesaikan.

Saat ini, disinyalir gula rafinasi beredar di pasar gula konsumsi atau rumah tangga. Gula rafinasi seharusnya hanya dijual ke industri makanan dan minuman.

Di sisi lain, gula petani menumpuk di gudang pabrik gula. Sebagian besar petani bahkan hanya memegang bukti pemesanan (delivery order/DO), tetapi tidak terbayarkan oleh pabrik gula. Alasannya, pabrik gula kehabisan dana karena gula tidak laku dijual akibat membanjirnya gula rafinasi di pasar.

Harga lelang gula saat ini di bawah harga talangan yang ditawarkan investor kepada petani. Harga lelang gula petani hanya Rp 4.913 per kg dan Rp 4.925 per kg. Padahal, harga talangan ditetapkan Rp 5.000 per kg.

Dalam seminar ”Peran Teknologi dalam Mendukung Industri Gula yang Tangguh dan Berdaya Saing” di Pasuruan, Jawa Timur, terungkap, harga gula di tingkat petani sangat menentukan tercapainya target swasembada gula tahun 2009.

Kepala Badan Litbang Departemen Pertanian Gatot Irianto menyatakan, efisiensi sistem pergulaan nasional adalah kunci untuk mencapai target swasembada gula. Efisiensi sistem pergulaan nasional akan kandas jika harga gula tidak menarik bagi petani

20.000 ton gula rafinasi

Sementara di Makassar, Tim Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa pada Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, Rabu (27/8), menemukan 20.000 ton gula rafinasi yang diduga diperdagangkan bebas di pasar tradisional. Namun, hingga Kamis kemarin, gula rafinasi itu belum ”diamankan”. Pemilik gudang Usaha Dagang Benteng Baru menolak menyerahkan gula rafinasi senilai Rp 100 miliar itu.

Gula rafinasi tersebut produksi PT Permata Dunia Sukses Utama Cilegon, PT Angels Products Bojonegoro, dan PT Sentra Usahatama Jaya Cilegon. ”Gula rafinasi itu akan diamankan karena kami duga diperdagangkan secara bebas dan beredar di pasar,” kata Martin S Siregar, ketua tim.

Penanggung jawab gudang UD Benteng Baru, Renald Sutanto, mengaku memiliki izin perdagangan gula rafinasi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan. ”Kami tidak pernah menjual gula rafinasi secara eceran,” katanya. (LAS/ROW/MAS/SIR)

[ Kembali ]

"Missing Link" Pembangunan Pertanian

Diunduh dari Harian KOMPAS Jumat, 5 September 2008
Oleh Emmanuel Subangun

Berita tentang ”perangkap pangan” menjadi penggenap kisah malapetaka harus dicermati dari hari ke hari.

Tampilan malapetaka yang disebut ketergantungan—sebagai bangsa berdaulat—pada beberapa perusahaan dunia dalam hal pangan sungguh mengerikan. Dan karena kita berhadapan dengan keadaan yang berkembang amat berbahaya, akal sehat harus dinomorsatukan!

Evolusi terbalik

Ingatkah kita akan sejumlah kebijakan pertanian di masa lalu? Saat itu lembaga internasional dan pemerintah menyepakati hal-hal berikut.

Pertama, temuan teknologi (dalam bibit, pupuk, dan budidaya tanam) memungkinkan produktivitas dinaikkan sehingga kelaparan dapat dihindarkan. Naskah jenis ini dengan baik disampaikan sebuah kelompok yang dinamai ”Club of Rome”.

Kedua, temuan teknologi seperti ini menuntut agar prasarana pertanian diperbaiki, seperti bendungan dan irigasi. Bantuan internasional banyak bergerak di sana. Namanya rural development project.

Ketiga, karena pertanian melibatkan berjuta petani, pengorganisasi produksi diperkenalkan, mulai dari inpres sampai KUD.

Keempat, untuk menjamin kesejahteraan petani, sebuah sistem pemasaran terkendali diperkenalkan, misalnya Bulog.

Dengan menimbang semua segi pembangunan pertanian di masa lalu, pertanyaan adalah mengapa perkembangan itu berhenti dan kini bergerak mundur. Kita pernah swasembada pangan, tetapi kini hampir semua komoditas strategis diimpor.

Di sebuah kalangan tertentu, masalah evolusi terbalik itu dirumuskan seperti ini, jika Charles Darwin merumuskan pertanyaan atas evolusi spesies dari munyuk ke manusia, bersandar pada ”lompatan” yang disebut missing link, maka keadaan pertanian kita dengan evolusi terbaliknya justru harus mencari missing link di mana proses sosial dan politiknya adalah dari manusia kembali menjadi munyuk.

Reaksi emosional

Jika hendak memberi reaksi emosional atas ”jebakan pangan”, hal paling mudah adalah menuding kambing hitam—sejumlah perusahaan MNC, misalnya—dan mereka dicap sebagai kapitalis jahat, yang hendak memonopoli saluran strategis komoditas pertanian, mulai dari bibit, sarana produksi, hingga pengolahan hasil pertanian. Bahwa pengusaha dalam MNC itu berhasil mengembangkan teknologi bibit, budidaya, dan pengolahan hasil, hal itu bukan karena mereka jahat, tetapi karena mereka jauh lebih cerdas dan disiplin bekerja dibandingkan kita, pemerintah, atau pengusaha kita!

Apalagi jika kita bersangka, MNC jauh lebih maju dari kita, dan kita harus mengatasi ketinggalan kita. Semisal yang dinyatakan wapres, penelitian pertanian harus dipacu agar bibit hibrida dapat dihasilkan sendiri. Namun, bagaimana dengan sarana produksi yang kelewat mahal dan fluktuasi liar hasil pertanian? Bagaimana dengan kebijakan impor kita dalam hasil pertanian? Bagaimana dengan industri pengolahan hasil bumi?

Aneka segi ”pertanian” itu harus disimak dengan cerdas dan cermat dan baru kemudian arah strategis dapat dirumuskan serta dijalankan secara taat asas.

Prasarana

Jika hari-hari ini kita sempat berkeliling di lahan-lahan pertanian, pemandangan yang mudah ditemui adalah hamparan tanaman jagung beratus atau beribu hektar, hijau dan seakan menjanjikan kemakmuran. Lalu lalang petani pada sore hari dengan motor atau sepeda onthel membonceng potongan batang jagung muda. Untuk apa? Mereka bukan protes menebang jagung muda, tetapi nilai ekonomi jagung panen diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan nilai ekonomi daun jagung untuk pakan ternak.

Dalam ilmu ekonomi, tindakan itu berimbang atas asas opportunity cost, jadi amat masuk akal dan petani tidak pernah ngawur.

Ihwal perilaku petani yang rasional dan selalu dicap ”tidak suka perubahan”, hal itu harus dilakukan oleh siapa pun yang mempunyai tanggung jawab atas masalah pertanian, yang ujungnya adalah berita malapetaka seperti ”perangkap pangan” itu.

Selama ini, dengan segala usaha pemerintah, lembaga internasional, dan LSM yang bergerak dalam bidang pertanian, pengamatan sederhana seperti itulah yang selalu luput dari perhatian. Hanya dan hanya jika kita mampu mengenali ”rasionalitas” petani dan bersambung dengan rasionalitas itu kita bergerak, membangun prasarana, dan malapetaka dapat dihindarkan.

Keteledoran atas hal semacam itulah yang dapat disebut sebagai missing link yang menjelaskan mengapa evolusi pertanian kita terbalik, bukan dari munyuk ke manusia, tetapi dari manusia kembali ke munyuk.

Emmanuel Subangun Sosiolog

[ Kembali ]

Anjloknya Ketahanan Pangan

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008
Oleh
IVAN A HADAR

Indonesia masuk perangkap pangan negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat bergantung pada impor.

Padahal, sejak dua tahun terakhir, terjadi lonjakan harga pangan dan komoditas pertanian lainnya. Akibatnya, terjadi penurunan ketahanan pangan dengan indikasi mengenaskan, seperti meningkatnya kasus gizi buruk serta kematian anak balita dan ibu melahirkan.

Sebenarnya, spirit penguatan ketahanan pangan bisa ditemui dalam judul utama disertasi doktoral SBY, ”Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran”. Sayang, kebijakan pemerintah selama ini dinilai mengorbankan pertanian di pedesaan sebagai sektor penyerap tenaga kerja terbanyak. Indikasinya, penyunatan subsidi dan impor produk pertanian yang menyengsarakan petani dan memperburuk pembangunan pertanian itu sendiri.

Saat ini sumber pertumbuhan ekonomi lebih bertumpu pada sektor konsumtif dan padat modal. Tak heran jika dulu tiap pertambahan pertumbuhan satu persen, bisa membuka 300.000 sampai 400.000 lapangan kerja, kini hanya mampu menampung 178.000 lapangan kerja.

Mereka yang jatuh miskin pun semakin bertambah. Sebagian besar berstatus petani gurem atau buruh tani. Bagi World Food Programme (WFP, 2005), mereka yang miskin dan kekurangan gizi di Indonesia dipastikan sulit keluar dari belenggu kemiskinan tanpa perubahan kebijakan yang signifikan.

Bagi Amartya sen (Poverty and Famines), persyaratan pengamanan pangan masyarakat bukan hanya pada pengadaan bahan pangan, tetapi aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang lapar. Sebenarnya, ketimpangan distribusi dan bahayanya dalam sebuah pertumbuhan ekonomi yang sering jauh dari harapan di negara berkembang sudah jauh hari disadari. Simon Kuznets (1995) dan Gunnar Myrdal (1956), misalnya, mengingatkan, kesenjangan penghasilan dan menunjukkan trickle-down effect sulit dicapai.

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sejak tahun 1980-an diberlakukan sebuah sistem kontrol oleh negara atas sektor pertanian dengan tujuan mengamankan keterjangkauan harga produk pertanian bagi penduduk kota yang kian meningkat. Hal ini dipertegas pada tahun 1990-an lewat kebijakan Structural Adjustment Program oleh IMF sebagai persyaratan mutlak pemberian bantuan dan utang kepada negara berkembang. Brandt (2000) menyebut program ini sebagai ”masalah makropolitik, yaitu keharusan mundurnya negara dari sektor dan jasa pertanian serta liberalisasi kebijakan harga, pasar, dan perdagangan pertanian.” Sejak itu, sektor pertanian menjadi bagian makroekonomi yang paling menderita akibat penyunatan berbagai subsidi negara. Bagi Brandt, penerapan SAP menjadi akhir dari pembangunan pedesaan.

Keberhasilan negara lain

Dilatari kegagalan pembangunan pedesaan itu, ada baiknya menengok keberhasilan Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Malaysia, dan (sejak 1978) China, yang menjadikan sektor pertanian sebagai ”motor” pengembangan sektor lainnya. Strategi yang dijalankan mencakup beberapa hal penting, yaitu dukungan kepada perusahaan keluarga kecil menengah, menghindari sistem kredit bersubsidi, membangun infrastruktur pedesaan, mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi yang bermanfaat bagi petani kecil, serta menghindari diskriminasi sektor pertanian (Binswanger, 1998). Berkat kebijakan itu terjadi lonjakan pertumbuhan di sektor pertanian, peningkatan produksi dan produktivitas, modernisasi teknologi pertanian, dan pengurangan tingkat kemiskinan di pedesaan.

Beberapa perbaikan dan modifikasi kebijakan juga dianjurkan Gabrielle Geier (1996). Pertama, perlu koreksi price bias yang terlalu percaya pada pengaturan produksi lewat harga pasar Yang diperlukan adalah perbaikan struktur pertanian dan dukungan pada inovasi pertanian.

Kedua, agar mengubah kebijakan income bias yang percaya pada perbaikan pendapatan petani lewat mekanisme pasar menjadi kebijakan stabilisasi basic subsistence dan jaminan tidak digusur.

Ketiga, mengoreksi kebijakan male bias demi memperkuat status sosial-ekonomi perempuan.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pangan di Roma 12 tahun lalu, semua negara peserta, termasuk Indonesia, bertekad mengurangi angka kelaparan global dari 840 juta menjadi separuhnya pada tahun 2015. Namun, sesuai data FAO 2005, masih ada 825 juta jiwa kelaparan. Meski terjadi proses deras urbanisasi, 60-70 persen penduduk negeri ini masih bermukim di pedesaan. Sementara nyaris separuh dari mereka yang mengalami rawan pangan berasal dari keluarga petani gurem.

Perubahan

Dua pertiga petani gurem tergolong marginalized karena memiliki lahan tandus, terisolasi letaknya serta tanpa pengamanan hak atas tanah dan tanpa akses kredit. Penyebab lainnya, buruknya infrastruktur dan ketergantungan pada pedagang antara. Sementara itu, sekitar 30 persen bernasib lebih buruk karena tidak memiliki lahan pertanian dan bekerja sebagai buruh tani, nelayan musiman, dan menggantungkan hidup pada hasil hutan (Armin Paasch, 2006).

Ketahanan pangan atau hak atas pangan harus dimulai dari berbagai kelompok ini. Kenyataannya, sejak dekade terakhir mereka kian tergusur. Perubahan struktural berupa komersialisasi sumber daya produktif, seperti lahan, air, dan bibit serta anjloknya harga produk pertanian dan liberalisasi asismetris perdagangan pertanian, telah memperburuk kondisi mereka (Windfuhr, 2005). Tanpa perubahan drastis kebijakan agar berpihak pada petani gurem dan pembangunan pedesaan, permintaan pemerintah pusat agar gubernur, wali kota, bupati, dan masyarakat untuk bekerja keras dalam peningkatan ketahanan pangan akan sia-sia karena menjadi sekadar imbauan tanpa arah dan pemihakan yang jelas.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs; Pendapat Pribadi

[ Kembali ]

Kamis, 04 September 2008

Keluar dari Perangkap Pangan?

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008
Oleh
Gatot Irianto

Peningkatan kebutuhan pangan terjadi akibat pertambahan penduduk yang relatif tinggi (1,38 persen/tahun) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semua pihak perlu mewaspadai fenomena itu.

Paling tidak ada tiga komoditas pangan nonberas yang perlu dicermati terkait peningkatan permintaan sehingga bisa mendorong ketergantungan berlebihan atas bahan pangan impor. Gandum, tetua ayam ras (grand parent stock) baik pedaging maupun petelur serta ternak sapi, merupakan tiga komoditas utama yang kini menjadi perhatian publik dan pemerintah karena ledakan permintaannya.

Peningkatan permintaan gandum dan daging ayam broiler yang besar akibat promosi dan layanan antar yang amat militan dan didukung industri hulu dan hilir perusahaan multinasional yang tangguh. Kondisi ini diperburuk terbatasnya edukasi media tentang hidup sehat atas pangan berbasis terigu dan daging ayam ras pada kelompok usia produktif dan anak anak.

Adapun lonjakan peningkatan impor sapi hingga kini terjadi akibat kebijakan pemerintah untuk mengimplementasikan pelarangan pemotongan betina produktif agar sapi yang dipotong memenuhi potensi bobot potong ideal. Pilihan ini harus diambil karena dalam jangka panjang akan menyelamatkan populasi ternak sapi dan peningkatan produksi daging sapi untuk keluar dari perangkap impor sapi, daging, dan jeroan sapi.

Terigu dan ayam

Menyikapi situasi permintaan terigu yang terus melonjak, pemerintah menggenjot diversifikasi dengan produk tepung non- terigu berbasis komoditas lokal utamanya umbi-umbian dengan fortifikasi agar kompetitif terhadap gandum. Hal ini harus dilakukan karena agro-ekologi untuk tanaman gandum tidak banyak tersedia di Indonesia. Dengan harga jual pangan berbahan nonterigu lebih murah, edukasi dan promosi hidup sehat yang lebih gencar, diharapkan dalam jangka menengah, tepung nonterigu akan mampu bersaing melawan terigu yang kini mendominasi pangan nonberas.

Sementara untuk mengatasi ketergantungan atas ayam ras, pemerintah mendorong swasta mengimpor great grand parent stock (GGP) atau pure line agar jaminan produksi ayam usia sehari (day old chick/DOC) dapat dipastikan dalam kurun waktu lima tahun. Secara simultan penelitian dan pengembangan ayam lokal terus diintensifkan.

Semua pihak harus mewaspadai kampanye hitam atas ayam buras yang dituduh sebagai penyebar virus avian influenza seperti banyak dilansir media selama ini. Padahal, kita tahu, Indonesia merupakan salah satu pusat domestikasi ayam di dunia. Ayam buras/kampung merupakan jaring pengaman sosial yang amat strategis guna mengeluarkan Indonesia dari perangkap pangan dan kemiskinan.

Itu sebabnya ada pihak yang ingin menghancurkan ayam buras Indonesia dengan berbagai modus. Padahal, 60 persen populasi ayam buras tahan terhadap avian influenza. Maka, amat tidak adil jika dimusnahkan dengan peraturan daerah (perda).

Produk lokal

Untuk melepaskan Indonesia dari perangkap pangan, maka perlu dilakukan (i) bagaimana semua pihak menggunakan produk pangan lokal dengan semua konsekuensinya; (ii) bagaimana menurunkan ketergantungan/ketagihan atas bahan pangan utama gandum agar cepat dan pasti, ketergantungan pangan dapat direduksi secara signifikan.

Kita perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka tetap bangga menggunakan produk telepon seluler dan mobil sendiri tanpa terpengaruh produk lain meski lebih canggih. Harga diri bangsa menjadi taruhan terakhir dalam melepaskan diri dari perangkap pangan.

India juga merupakan teladan bagaimana keluar dari perangkap pangan dan menjadi negara industri. Kebijakan pemerintah dalam importasi pangan, penetapan tarif, dan keberpihakan terhadap petani sudah menunjukkan hasilnya meski harus diakui masih memerlukan tenaga, waktu, dana, dan pengawalan kontinu.

Kini, pertarungan pasar atas bahan pangan impor sudah tidak berbatas sehingga yang kuat kian kuat dan yang lemah kian tergilas. Maka, badan penelitian dan pengembangan pertanian memberi prioritas utama dalam pengembangan benih, bibit, pupuk, dan alat pada tahun anggaran 2008 agar Indonesia secara bertahap keluar dari perangkap pangan.

Lompatan produksi pangan nonterigu, ayam buras, dan sapi pasti dapat dilakukan dalam 3-5 tahun ke depan jika semua pihak secara konsisten melindungi pertanian dan petani kita.

Gatot Irianto Kepala Badan Litbang Pertanian

[ Kembali ]

Selasa, 02 September 2008

Konsorsium Riset Jadi Fokus

Dana Penelitian Sulit Diakses Perguruan Tinggi
Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 3 September 2008

Jakarta, Kompas - Departemen Pertanian akan memperkuat peran konsorsium riset pertanian sebagai tumpuan riset komoditas pangan. Pilihan ini diambil sebelum ada lembaga riset pertanian yang baru di bawah kendali Kementerian Negara Riset dan Teknologi dan lebih fokus menghasilkan riset pangan yang spesifik.

Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Selasa (2/9) di Jakarta, konsorsium yang merupakan lembaga riset terpadu adalah gabungan dari sejumlah lembaga riset di Indonesia, seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Batan, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, LIPI, serta perguruan tinggi. Misalnya, konsorsium riset komoditas padi, kedelai, sapi perah, kelapa sawit, perubahan iklim global, dan bidang sosial ekonomi pertanian. ”Namun, itu belum sepenuhnya berjalan,” katanya.

Anton mengemukakan hal ini terkait tekad yang dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar Indonesia keluar dari perangkap pangan negara-negara maju. Wapres meminta agar penelitian dan pengembangan tujuh komoditas pangan utama nonberas ditingkatkan (Kompas 2/9).

Tekad Wapres berhubungan dengan fakta bahwa tujuh komoditas pangan utama nonberas yang dikonsumsi rakyat sangat bergantung pada produk impor. Sementara itu, empat dari tujuh komoditas, yakni gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah memasuki tahapan kritis.

Belum terealisasi

Mentan lebih jauh mengungkapkan, pihaknya juga menginginkan adanya lembaga riset spesifik komoditas pangan di Indonesia seperti yang ada di Inggris. Usul itu sudah pernah disampaikan kepada Menneg Ristek, tetapi belum terealisasi.

Sambil menunggu kekosongan itu, Mentan lantas berinisiatif membentuk konsorsium riset pertanian.

Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria menyatakan, kehadiran lembaga riset dalam wadah Dewan Riset Pangan Nasional (DRPN) amat mendesak. Lembaga ini berada di bawah Presiden RI dengan ketua harian tokoh-tokoh nasional senior atau Menneg Ristek.

”Lembaga seperti ini yang akan bisa memadukan dan menyatukan langkah penelitian pangan Indonesia ke depan. Sekarang memang sudah ada konsorsium riset inisiatif dari Deptan, tetapi tampaknya belum jalan seperti yang diharapkan,” katanya.

Dana dua kali lipat

Mentan menambahkan, dalam rangka mendorong kemajuan riset pertanian, pihaknya mengalokasikan anggaran riset tahun 2008 sebanyak dua kali lipat dibandingkan tahun 2004. Riset pangan juga dibuat lebih fokus dan ada target tertentu, tidak sekadar memenuhi cum para peneliti.

Kepala Badan Litbang Pertanian Deptan Gatot Irianto meyakinkan, pihaknya akan sungguh-sungguh dan total membangun riset pertanian, khususnya pangan.

Totalitas bisa dilihat dari besarnya alokasi anggaran riset. Tahun 2008 alokasi dana riset paling tinggi adalah sebesar Rp 89 miliar atau 10 persen dari total anggaran Litbang Deptan yang sebesar Rp 890 miliar.

Karena peningkatan anggaran riset pertanian diambil dari anggaran pendidikan 20 persen di APBN, kata Mentan, Departemen Pendidikan harus bekerja sama dengan pihak lain.

Misalnya saja pihak perguruan tinggi lebih fokus pada center of excellence, sedangkan riset terapan oleh lembaga riset di Deptan, Batan, Kementerian Negara Ristek, dan LIPI.

Bekerja sendiri-sendiri

Arif mengungkapkan, masalah di dunia riset di Indonesia sekarang adalah setiap lembaga riset bekerja sendiri-sendiri. Komunikasi intens dan terbuka belum ada sehingga kerap terjadi duplikasi penelitian.

Dengan adanya komunikasi, akan ada efektivitas dan efisiensi anggaran riset. Tanpa ada komunikasi itu, dana sebesar apa pun tidak akan efektif. Yang terjadi justru pemborosan.

”Sekarang ini kita tidak tahu LIPI melakukan riset apa, begitu pula dengan Deptan, Batan, dan Kementerian Negara Ristek. Ini harus dibuka, ada semacam pusat komunikasi yang bisa diakses bersama agar tidak terjadi duplikasi. Dengan komunikasi yang baik, masing-masing peneliti tidak harus memulai penelitian dari tingkat awal, tetapi bisa langsung melanjutkan. Dengan begitu akan lebih cepat menghasilkan temuan,” ujar Arif.

Masalah riset merupakan masalah tata kelola (pemerintahan) yang belum berjalan secara konvergen. Sumber daya manusia, dalam hal ini peneliti, memadai. Banyak doktor peneliti yang memiliki kemampuan tidak kalah dengan peneliti dari negara lain, tetapi mereka sibuk dan tekun dengan penelitiannya sendiri.

Dalam hal pendanaan, lanjut Arif, memang akses masih terbatas. Dana memang ada, meski tidak besar, tetapi sulit diakses, baik di Batan, Kementerian Negara Ristek, LIPI, maupun Deptan. Padahal, setiap kali menemukan varietas unggul bermutu yang baru, diwajibkan menjalani uji multilokasi sebelum bisa dilepas.

Menanggapi adanya tambahan dana riset, Arif mengatakan, pihaknya amat gembira. ”Saat ini IPB telah menggariskan agenda risetnya untuk menjawab terwujudnya kedaulatan pangan dan energi,” katanya.

Benahi sistem

Sugiono Moeljopawiro, pemulia dan peneliti senior di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, mengatakan, untuk mengembangkan riset perbenihan di Indonesia, yang paling utama dibenahi adalah sistemnya.

Maksudnya, semua orang atau institusi boleh merakit varietas unggul baru, tetapi harus mengetahui sejak awal mau ditanam di mana. Hal ini terkait dengan interaksi antara varietas dan lingkungan, di mana suatu varietas hanya unggul di lokasi atau daerah tertentu, tetapi tidak di semua lokasi di Indonesia.

”Jadi harus dirakit varietas unggul regional. Konsekuensinya harus ada revisi Undang-Undang No 12 Tahun 1992,” katanya.

Dengan demikian, tidak perlu lagi pelepasan varietas dengan keharusan uji multilokasi. Selanjutnya, varietas unggul regional itu harus dilindungi dengan perlindungan varietas tanaman (PVT) agar benih hasil riset tersebut tidak dipakai seenaknya saja oleh siapa pun, apalagi perusahaan multinasional.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, yang juga guru besar sosial ekonomi pertanian Universitas Jember, Rudi Wibowo, mengingatkan, sekarang ini bukan hanya penelitian yang lemah, tetapi kebijakan pemerintah juga lemah dan sering kurang memerhatikan pertanian sebagai kepentingan nasional. Impor terus dilakukan dan produk pertanian pangan dalam negeri terus dikalahkan. Contoh nyata adalah bagaimana bocornya gula rafinasi.

Menanggapi itu, Anton mengatakan, kebijakan bea masuk produk pangan bersifat dinamis. Artinya, kebijakan itu berubah, bergantung pada kondisinya.

Ketika pemerintah memutuskan menurunkan bea masuk (BM) produk pangan impor, saat itu pemerintah dihadapkan pada tingginya harga komoditas pangan di pasar dunia. Kalau BM tak diturunkan, konsumen akan menjerit akibat harga terlalu mahal. ”Kita tidak bisa melihat persoalan secara sepotong, harus dilihat konteksnya,” ujar Anton Apriyantono. (MAS)

[ Kembali ]

Riset Pertanian Mesti Kuat

TAJUK RENCANA KOMPAS
Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 3 September 2008

Negara maju menghabiskan dana begitu besar dan waktu yang relatif lama untuk melakukan riset guna menemukan sesuatu yang lebih maju. Mereka serius.

Riset memang harus serius dan kuat untuk unggul, efisien, dan akhirnya dapat memenangi persaingan global. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa dan korporasi multinasional berlomba melakukan riset yang kuat, komprehensif, dan mendalam.

Tidak terkecuali di bidang pertanian. Selain untuk pangan manusia, komoditas pertanian juga untuk ternak dan bahan bakar alternatif.

Urgensi riset pertanian kita angkat karena kita ditakdirkan memiliki iklim dan alam yang cocok untuk pertanian. Sumber kehidupan lebih dari 44 persen dari total penduduk Indonesia ada di sektor ini.

Seperti diangkat sebelumnya, Indonesia masuk dalam ”perangkap pangan” negara maju dan kapitalisme global. Indikasinya, dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, kita sangat bergantung pada produk impor. Empat di antaranya, yakni gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, dinyatakan sudah kategori kritis.

Kelalaian kita, sebagaimana juga diakui Wakil Presiden Jusuf Kalla, adalah riset dan penelitian tentang komoditas pertanian kita masih lemah.

Iklim dan kondisi alam yang mendukung pertanian jelas merupakan modal dasar kita. Namun, tanpa disertai riset pengembangan komoditas, mulai dari aspek rekayasa dalam budidaya sampai aspek pascapanen, pengolahan, dan pemasaran, modal besar itu hanya akan tergerus, melemahkan daya saing pertanian kita, seperti halnya yang terjadi kini. Kita menjadi pengimpor.

Perguruan tinggi yang memiliki studi pertanian melakukan dan memiliki tradisi riset. Lembaga riset dan penelitian milik pemerintah juga melakukannya. Namun, kecepatan riset kita menemukan sesuatu yang lebih maju secara signifikan dan lebih unggul masih perlu diperkuat. Dalam konteks ini dan dalam perspektif persaingan global, ikhtiar kita masih sangat minim dibandingkan dengan negara lain.

Segala sumber daya yang kita gunakan untuk riset dan penelitian sudah waktunya dihimpun. Langkah dan gerakan disatukan untuk mencapai efisiensi nasional. Bukan rahasia lagi, karena egoisme sektoral instansi pemerintah, perguruan tinggi, pemanfaatan sumber daya kita yang memang terbatas sering kali sia-sia. Suatu jenis penelitian atau riset dikerjakan oleh semua pihak. Sekadar untuk terkesan ada kegiatan, tanpa memperhitungkan kontinuitas riset yang memang memerlukan durasi cukup panjang dan dana besar.

Kalau sumber daya yang bertebaran pada lembaga, dan sering kali bertabrakan satu sama lain itu dikoordinasikan dalam suatu konsorsium riset, misalnya, tentu hasilnya jauh lebih optimal dan berkelanjutan.

Riset sudah harus dilihat sebagai hidup mati bangsa. Dalam keterbatasan negara, korporasi dan swasta nasional harus diberi peran dan panggungnya.

[ Kembali ]