Sabtu, 06 September 2008

Sertifikasi Hasil Riset Tertahan

Tidak Perlu Dibentuk Lembaga Konsorsium Riset
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

Jakarta, Kompas - Upaya pemerolehan sertifikasi hasil riset tanaman pangan berupa padi varietas tahan hama penggerek oleh LIPI sejak 2004 hingga sekarang masih tertahan. Uji lapangan sedikitnya di 20 lokasi belum membuahkan kejelasan pengeluaran sertifikasi yang menjadi kewenangan Departemen Pertanian.

”Varietas padi tahan hama penggerek itu tidak akan pernah dilepas kalau belum memperoleh sertifikasinya,” kata Kepala Bidang Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual pada Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Subiyatno, Kamis (4/9) di Jakarta.

Menurut Subiyatno, varietas padi tahan hama penggerek itu merupakan yang pertama kali dihasilkan. Saat ini pengembangan riset padi yang dilakukan di LIPI masih dilanjutkan untuk mendapatkan varietas tahan terhadap ancaman kondisi ekstrem, seperti kekeringan atau banjir.

Riset sendiri

Secara terpisah, Kepala LIPI Umar Anggara Jenie menyatakan, selama ini riset tanaman pangan yang dilakukan LIPI bukanlah atas permintaan departemen terkait. Pihaknya melakukan riset atas inisiatif sendiri.

Namun, memang terjadi kendala pada upaya menyajikan hasil-hasil riset tersebut kepada publik karena harus melibatkan departemen teknis lainnya.

”Riset tanaman pokok pangan sangatlah penting agar tak masuk perangkap pangan yang secara tak sadar menimbulkan ketergantungan pada negara lain. Tetapi, kemauan politik sampai kini tak diarahkan ke situ,” katanya.

Tak perlu lembaga baru

Asisten Deputi Urusan Perkembangan Ilmu Hayati Kementerian Negara Riset dan Teknologi Prasetyo Sunarso mengatakan, saat ini dibutuhkan jalur komunikasi yang baik antarlembaga riset dengan departemen teknis.

Menurut Prasetyo tidak perlu lagi membentuk konsorsium teknis dalam bentuk lembaga baru.

”Masalah yang muncul sekarang antara lain pada mekanisme pemberian hasil riset atau estafet hasil penelitian dari lembaga riset ke departemen teknis. Hendaknya ini yang menjadi pembahasan Dewan Riset Nasional (DRN),” kata Prasetyo.

Dia juga mengungkapkan, riset tanaman pangan saat ini dihadapkan pada kendala uji multilokasi. Lembaga riset sering terkendala untuk melaku- kan itu karena mahal. Biaya tersebut bisa mencapai Rp 800 juta.

”Uji multilokasi semestinya menjadi tanggung jawab departemen teknis yang khusus menanganinya,” kata Prasetyo. (NAW/YUN)

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Petani Membakar Tanaman Tebunya

20.000 Ton Gula Rafinasi di Makassar Gagal Disita
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Puluhan petani tebu di Desa Tanggul Kulon, Kecamatan Tanggul, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis (28/8) pagi, membakar tanaman tebu di ladang mereka. Tindakan itu sebagai protes terhadap sikap pemerintah terkait membanjirnya gula rafinasi.

Berdasarkan pengamatan Kompas, pembakaran dilakukan di bagian pinggir ladang sehingga hanya membakar tiga hektar tanaman tebu dari 10 ha yang siap panen. Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Arum Sabil, pembakaran akan semakin luas jika masalah yang ada tidak diselesaikan.

Saat ini, disinyalir gula rafinasi beredar di pasar gula konsumsi atau rumah tangga. Gula rafinasi seharusnya hanya dijual ke industri makanan dan minuman.

Di sisi lain, gula petani menumpuk di gudang pabrik gula. Sebagian besar petani bahkan hanya memegang bukti pemesanan (delivery order/DO), tetapi tidak terbayarkan oleh pabrik gula. Alasannya, pabrik gula kehabisan dana karena gula tidak laku dijual akibat membanjirnya gula rafinasi di pasar.

Harga lelang gula saat ini di bawah harga talangan yang ditawarkan investor kepada petani. Harga lelang gula petani hanya Rp 4.913 per kg dan Rp 4.925 per kg. Padahal, harga talangan ditetapkan Rp 5.000 per kg.

Dalam seminar ”Peran Teknologi dalam Mendukung Industri Gula yang Tangguh dan Berdaya Saing” di Pasuruan, Jawa Timur, terungkap, harga gula di tingkat petani sangat menentukan tercapainya target swasembada gula tahun 2009.

Kepala Badan Litbang Departemen Pertanian Gatot Irianto menyatakan, efisiensi sistem pergulaan nasional adalah kunci untuk mencapai target swasembada gula. Efisiensi sistem pergulaan nasional akan kandas jika harga gula tidak menarik bagi petani

20.000 ton gula rafinasi

Sementara di Makassar, Tim Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa pada Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, Rabu (27/8), menemukan 20.000 ton gula rafinasi yang diduga diperdagangkan bebas di pasar tradisional. Namun, hingga Kamis kemarin, gula rafinasi itu belum ”diamankan”. Pemilik gudang Usaha Dagang Benteng Baru menolak menyerahkan gula rafinasi senilai Rp 100 miliar itu.

Gula rafinasi tersebut produksi PT Permata Dunia Sukses Utama Cilegon, PT Angels Products Bojonegoro, dan PT Sentra Usahatama Jaya Cilegon. ”Gula rafinasi itu akan diamankan karena kami duga diperdagangkan secara bebas dan beredar di pasar,” kata Martin S Siregar, ketua tim.

Penanggung jawab gudang UD Benteng Baru, Renald Sutanto, mengaku memiliki izin perdagangan gula rafinasi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan. ”Kami tidak pernah menjual gula rafinasi secara eceran,” katanya. (LAS/ROW/MAS/SIR)

[ Kembali ]

"Missing Link" Pembangunan Pertanian

Diunduh dari Harian KOMPAS Jumat, 5 September 2008
Oleh Emmanuel Subangun

Berita tentang ”perangkap pangan” menjadi penggenap kisah malapetaka harus dicermati dari hari ke hari.

Tampilan malapetaka yang disebut ketergantungan—sebagai bangsa berdaulat—pada beberapa perusahaan dunia dalam hal pangan sungguh mengerikan. Dan karena kita berhadapan dengan keadaan yang berkembang amat berbahaya, akal sehat harus dinomorsatukan!

Evolusi terbalik

Ingatkah kita akan sejumlah kebijakan pertanian di masa lalu? Saat itu lembaga internasional dan pemerintah menyepakati hal-hal berikut.

Pertama, temuan teknologi (dalam bibit, pupuk, dan budidaya tanam) memungkinkan produktivitas dinaikkan sehingga kelaparan dapat dihindarkan. Naskah jenis ini dengan baik disampaikan sebuah kelompok yang dinamai ”Club of Rome”.

Kedua, temuan teknologi seperti ini menuntut agar prasarana pertanian diperbaiki, seperti bendungan dan irigasi. Bantuan internasional banyak bergerak di sana. Namanya rural development project.

Ketiga, karena pertanian melibatkan berjuta petani, pengorganisasi produksi diperkenalkan, mulai dari inpres sampai KUD.

Keempat, untuk menjamin kesejahteraan petani, sebuah sistem pemasaran terkendali diperkenalkan, misalnya Bulog.

Dengan menimbang semua segi pembangunan pertanian di masa lalu, pertanyaan adalah mengapa perkembangan itu berhenti dan kini bergerak mundur. Kita pernah swasembada pangan, tetapi kini hampir semua komoditas strategis diimpor.

Di sebuah kalangan tertentu, masalah evolusi terbalik itu dirumuskan seperti ini, jika Charles Darwin merumuskan pertanyaan atas evolusi spesies dari munyuk ke manusia, bersandar pada ”lompatan” yang disebut missing link, maka keadaan pertanian kita dengan evolusi terbaliknya justru harus mencari missing link di mana proses sosial dan politiknya adalah dari manusia kembali menjadi munyuk.

Reaksi emosional

Jika hendak memberi reaksi emosional atas ”jebakan pangan”, hal paling mudah adalah menuding kambing hitam—sejumlah perusahaan MNC, misalnya—dan mereka dicap sebagai kapitalis jahat, yang hendak memonopoli saluran strategis komoditas pertanian, mulai dari bibit, sarana produksi, hingga pengolahan hasil pertanian. Bahwa pengusaha dalam MNC itu berhasil mengembangkan teknologi bibit, budidaya, dan pengolahan hasil, hal itu bukan karena mereka jahat, tetapi karena mereka jauh lebih cerdas dan disiplin bekerja dibandingkan kita, pemerintah, atau pengusaha kita!

Apalagi jika kita bersangka, MNC jauh lebih maju dari kita, dan kita harus mengatasi ketinggalan kita. Semisal yang dinyatakan wapres, penelitian pertanian harus dipacu agar bibit hibrida dapat dihasilkan sendiri. Namun, bagaimana dengan sarana produksi yang kelewat mahal dan fluktuasi liar hasil pertanian? Bagaimana dengan kebijakan impor kita dalam hasil pertanian? Bagaimana dengan industri pengolahan hasil bumi?

Aneka segi ”pertanian” itu harus disimak dengan cerdas dan cermat dan baru kemudian arah strategis dapat dirumuskan serta dijalankan secara taat asas.

Prasarana

Jika hari-hari ini kita sempat berkeliling di lahan-lahan pertanian, pemandangan yang mudah ditemui adalah hamparan tanaman jagung beratus atau beribu hektar, hijau dan seakan menjanjikan kemakmuran. Lalu lalang petani pada sore hari dengan motor atau sepeda onthel membonceng potongan batang jagung muda. Untuk apa? Mereka bukan protes menebang jagung muda, tetapi nilai ekonomi jagung panen diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan nilai ekonomi daun jagung untuk pakan ternak.

Dalam ilmu ekonomi, tindakan itu berimbang atas asas opportunity cost, jadi amat masuk akal dan petani tidak pernah ngawur.

Ihwal perilaku petani yang rasional dan selalu dicap ”tidak suka perubahan”, hal itu harus dilakukan oleh siapa pun yang mempunyai tanggung jawab atas masalah pertanian, yang ujungnya adalah berita malapetaka seperti ”perangkap pangan” itu.

Selama ini, dengan segala usaha pemerintah, lembaga internasional, dan LSM yang bergerak dalam bidang pertanian, pengamatan sederhana seperti itulah yang selalu luput dari perhatian. Hanya dan hanya jika kita mampu mengenali ”rasionalitas” petani dan bersambung dengan rasionalitas itu kita bergerak, membangun prasarana, dan malapetaka dapat dihindarkan.

Keteledoran atas hal semacam itulah yang dapat disebut sebagai missing link yang menjelaskan mengapa evolusi pertanian kita terbalik, bukan dari munyuk ke manusia, tetapi dari manusia kembali ke munyuk.

Emmanuel Subangun Sosiolog

[ Kembali ]

Anjloknya Ketahanan Pangan

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008
Oleh
IVAN A HADAR

Indonesia masuk perangkap pangan negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat bergantung pada impor.

Padahal, sejak dua tahun terakhir, terjadi lonjakan harga pangan dan komoditas pertanian lainnya. Akibatnya, terjadi penurunan ketahanan pangan dengan indikasi mengenaskan, seperti meningkatnya kasus gizi buruk serta kematian anak balita dan ibu melahirkan.

Sebenarnya, spirit penguatan ketahanan pangan bisa ditemui dalam judul utama disertasi doktoral SBY, ”Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran”. Sayang, kebijakan pemerintah selama ini dinilai mengorbankan pertanian di pedesaan sebagai sektor penyerap tenaga kerja terbanyak. Indikasinya, penyunatan subsidi dan impor produk pertanian yang menyengsarakan petani dan memperburuk pembangunan pertanian itu sendiri.

Saat ini sumber pertumbuhan ekonomi lebih bertumpu pada sektor konsumtif dan padat modal. Tak heran jika dulu tiap pertambahan pertumbuhan satu persen, bisa membuka 300.000 sampai 400.000 lapangan kerja, kini hanya mampu menampung 178.000 lapangan kerja.

Mereka yang jatuh miskin pun semakin bertambah. Sebagian besar berstatus petani gurem atau buruh tani. Bagi World Food Programme (WFP, 2005), mereka yang miskin dan kekurangan gizi di Indonesia dipastikan sulit keluar dari belenggu kemiskinan tanpa perubahan kebijakan yang signifikan.

Bagi Amartya sen (Poverty and Famines), persyaratan pengamanan pangan masyarakat bukan hanya pada pengadaan bahan pangan, tetapi aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang lapar. Sebenarnya, ketimpangan distribusi dan bahayanya dalam sebuah pertumbuhan ekonomi yang sering jauh dari harapan di negara berkembang sudah jauh hari disadari. Simon Kuznets (1995) dan Gunnar Myrdal (1956), misalnya, mengingatkan, kesenjangan penghasilan dan menunjukkan trickle-down effect sulit dicapai.

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sejak tahun 1980-an diberlakukan sebuah sistem kontrol oleh negara atas sektor pertanian dengan tujuan mengamankan keterjangkauan harga produk pertanian bagi penduduk kota yang kian meningkat. Hal ini dipertegas pada tahun 1990-an lewat kebijakan Structural Adjustment Program oleh IMF sebagai persyaratan mutlak pemberian bantuan dan utang kepada negara berkembang. Brandt (2000) menyebut program ini sebagai ”masalah makropolitik, yaitu keharusan mundurnya negara dari sektor dan jasa pertanian serta liberalisasi kebijakan harga, pasar, dan perdagangan pertanian.” Sejak itu, sektor pertanian menjadi bagian makroekonomi yang paling menderita akibat penyunatan berbagai subsidi negara. Bagi Brandt, penerapan SAP menjadi akhir dari pembangunan pedesaan.

Keberhasilan negara lain

Dilatari kegagalan pembangunan pedesaan itu, ada baiknya menengok keberhasilan Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Malaysia, dan (sejak 1978) China, yang menjadikan sektor pertanian sebagai ”motor” pengembangan sektor lainnya. Strategi yang dijalankan mencakup beberapa hal penting, yaitu dukungan kepada perusahaan keluarga kecil menengah, menghindari sistem kredit bersubsidi, membangun infrastruktur pedesaan, mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi yang bermanfaat bagi petani kecil, serta menghindari diskriminasi sektor pertanian (Binswanger, 1998). Berkat kebijakan itu terjadi lonjakan pertumbuhan di sektor pertanian, peningkatan produksi dan produktivitas, modernisasi teknologi pertanian, dan pengurangan tingkat kemiskinan di pedesaan.

Beberapa perbaikan dan modifikasi kebijakan juga dianjurkan Gabrielle Geier (1996). Pertama, perlu koreksi price bias yang terlalu percaya pada pengaturan produksi lewat harga pasar Yang diperlukan adalah perbaikan struktur pertanian dan dukungan pada inovasi pertanian.

Kedua, agar mengubah kebijakan income bias yang percaya pada perbaikan pendapatan petani lewat mekanisme pasar menjadi kebijakan stabilisasi basic subsistence dan jaminan tidak digusur.

Ketiga, mengoreksi kebijakan male bias demi memperkuat status sosial-ekonomi perempuan.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pangan di Roma 12 tahun lalu, semua negara peserta, termasuk Indonesia, bertekad mengurangi angka kelaparan global dari 840 juta menjadi separuhnya pada tahun 2015. Namun, sesuai data FAO 2005, masih ada 825 juta jiwa kelaparan. Meski terjadi proses deras urbanisasi, 60-70 persen penduduk negeri ini masih bermukim di pedesaan. Sementara nyaris separuh dari mereka yang mengalami rawan pangan berasal dari keluarga petani gurem.

Perubahan

Dua pertiga petani gurem tergolong marginalized karena memiliki lahan tandus, terisolasi letaknya serta tanpa pengamanan hak atas tanah dan tanpa akses kredit. Penyebab lainnya, buruknya infrastruktur dan ketergantungan pada pedagang antara. Sementara itu, sekitar 30 persen bernasib lebih buruk karena tidak memiliki lahan pertanian dan bekerja sebagai buruh tani, nelayan musiman, dan menggantungkan hidup pada hasil hutan (Armin Paasch, 2006).

Ketahanan pangan atau hak atas pangan harus dimulai dari berbagai kelompok ini. Kenyataannya, sejak dekade terakhir mereka kian tergusur. Perubahan struktural berupa komersialisasi sumber daya produktif, seperti lahan, air, dan bibit serta anjloknya harga produk pertanian dan liberalisasi asismetris perdagangan pertanian, telah memperburuk kondisi mereka (Windfuhr, 2005). Tanpa perubahan drastis kebijakan agar berpihak pada petani gurem dan pembangunan pedesaan, permintaan pemerintah pusat agar gubernur, wali kota, bupati, dan masyarakat untuk bekerja keras dalam peningkatan ketahanan pangan akan sia-sia karena menjadi sekadar imbauan tanpa arah dan pemihakan yang jelas.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs; Pendapat Pribadi

[ Kembali ]

Kamis, 04 September 2008

Keluar dari Perangkap Pangan?

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008
Oleh
Gatot Irianto

Peningkatan kebutuhan pangan terjadi akibat pertambahan penduduk yang relatif tinggi (1,38 persen/tahun) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semua pihak perlu mewaspadai fenomena itu.

Paling tidak ada tiga komoditas pangan nonberas yang perlu dicermati terkait peningkatan permintaan sehingga bisa mendorong ketergantungan berlebihan atas bahan pangan impor. Gandum, tetua ayam ras (grand parent stock) baik pedaging maupun petelur serta ternak sapi, merupakan tiga komoditas utama yang kini menjadi perhatian publik dan pemerintah karena ledakan permintaannya.

Peningkatan permintaan gandum dan daging ayam broiler yang besar akibat promosi dan layanan antar yang amat militan dan didukung industri hulu dan hilir perusahaan multinasional yang tangguh. Kondisi ini diperburuk terbatasnya edukasi media tentang hidup sehat atas pangan berbasis terigu dan daging ayam ras pada kelompok usia produktif dan anak anak.

Adapun lonjakan peningkatan impor sapi hingga kini terjadi akibat kebijakan pemerintah untuk mengimplementasikan pelarangan pemotongan betina produktif agar sapi yang dipotong memenuhi potensi bobot potong ideal. Pilihan ini harus diambil karena dalam jangka panjang akan menyelamatkan populasi ternak sapi dan peningkatan produksi daging sapi untuk keluar dari perangkap impor sapi, daging, dan jeroan sapi.

Terigu dan ayam

Menyikapi situasi permintaan terigu yang terus melonjak, pemerintah menggenjot diversifikasi dengan produk tepung non- terigu berbasis komoditas lokal utamanya umbi-umbian dengan fortifikasi agar kompetitif terhadap gandum. Hal ini harus dilakukan karena agro-ekologi untuk tanaman gandum tidak banyak tersedia di Indonesia. Dengan harga jual pangan berbahan nonterigu lebih murah, edukasi dan promosi hidup sehat yang lebih gencar, diharapkan dalam jangka menengah, tepung nonterigu akan mampu bersaing melawan terigu yang kini mendominasi pangan nonberas.

Sementara untuk mengatasi ketergantungan atas ayam ras, pemerintah mendorong swasta mengimpor great grand parent stock (GGP) atau pure line agar jaminan produksi ayam usia sehari (day old chick/DOC) dapat dipastikan dalam kurun waktu lima tahun. Secara simultan penelitian dan pengembangan ayam lokal terus diintensifkan.

Semua pihak harus mewaspadai kampanye hitam atas ayam buras yang dituduh sebagai penyebar virus avian influenza seperti banyak dilansir media selama ini. Padahal, kita tahu, Indonesia merupakan salah satu pusat domestikasi ayam di dunia. Ayam buras/kampung merupakan jaring pengaman sosial yang amat strategis guna mengeluarkan Indonesia dari perangkap pangan dan kemiskinan.

Itu sebabnya ada pihak yang ingin menghancurkan ayam buras Indonesia dengan berbagai modus. Padahal, 60 persen populasi ayam buras tahan terhadap avian influenza. Maka, amat tidak adil jika dimusnahkan dengan peraturan daerah (perda).

Produk lokal

Untuk melepaskan Indonesia dari perangkap pangan, maka perlu dilakukan (i) bagaimana semua pihak menggunakan produk pangan lokal dengan semua konsekuensinya; (ii) bagaimana menurunkan ketergantungan/ketagihan atas bahan pangan utama gandum agar cepat dan pasti, ketergantungan pangan dapat direduksi secara signifikan.

Kita perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka tetap bangga menggunakan produk telepon seluler dan mobil sendiri tanpa terpengaruh produk lain meski lebih canggih. Harga diri bangsa menjadi taruhan terakhir dalam melepaskan diri dari perangkap pangan.

India juga merupakan teladan bagaimana keluar dari perangkap pangan dan menjadi negara industri. Kebijakan pemerintah dalam importasi pangan, penetapan tarif, dan keberpihakan terhadap petani sudah menunjukkan hasilnya meski harus diakui masih memerlukan tenaga, waktu, dana, dan pengawalan kontinu.

Kini, pertarungan pasar atas bahan pangan impor sudah tidak berbatas sehingga yang kuat kian kuat dan yang lemah kian tergilas. Maka, badan penelitian dan pengembangan pertanian memberi prioritas utama dalam pengembangan benih, bibit, pupuk, dan alat pada tahun anggaran 2008 agar Indonesia secara bertahap keluar dari perangkap pangan.

Lompatan produksi pangan nonterigu, ayam buras, dan sapi pasti dapat dilakukan dalam 3-5 tahun ke depan jika semua pihak secara konsisten melindungi pertanian dan petani kita.

Gatot Irianto Kepala Badan Litbang Pertanian

[ Kembali ]

Selasa, 02 September 2008

Konsorsium Riset Jadi Fokus

Dana Penelitian Sulit Diakses Perguruan Tinggi
Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 3 September 2008

Jakarta, Kompas - Departemen Pertanian akan memperkuat peran konsorsium riset pertanian sebagai tumpuan riset komoditas pangan. Pilihan ini diambil sebelum ada lembaga riset pertanian yang baru di bawah kendali Kementerian Negara Riset dan Teknologi dan lebih fokus menghasilkan riset pangan yang spesifik.

Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Selasa (2/9) di Jakarta, konsorsium yang merupakan lembaga riset terpadu adalah gabungan dari sejumlah lembaga riset di Indonesia, seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Batan, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, LIPI, serta perguruan tinggi. Misalnya, konsorsium riset komoditas padi, kedelai, sapi perah, kelapa sawit, perubahan iklim global, dan bidang sosial ekonomi pertanian. ”Namun, itu belum sepenuhnya berjalan,” katanya.

Anton mengemukakan hal ini terkait tekad yang dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar Indonesia keluar dari perangkap pangan negara-negara maju. Wapres meminta agar penelitian dan pengembangan tujuh komoditas pangan utama nonberas ditingkatkan (Kompas 2/9).

Tekad Wapres berhubungan dengan fakta bahwa tujuh komoditas pangan utama nonberas yang dikonsumsi rakyat sangat bergantung pada produk impor. Sementara itu, empat dari tujuh komoditas, yakni gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah memasuki tahapan kritis.

Belum terealisasi

Mentan lebih jauh mengungkapkan, pihaknya juga menginginkan adanya lembaga riset spesifik komoditas pangan di Indonesia seperti yang ada di Inggris. Usul itu sudah pernah disampaikan kepada Menneg Ristek, tetapi belum terealisasi.

Sambil menunggu kekosongan itu, Mentan lantas berinisiatif membentuk konsorsium riset pertanian.

Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria menyatakan, kehadiran lembaga riset dalam wadah Dewan Riset Pangan Nasional (DRPN) amat mendesak. Lembaga ini berada di bawah Presiden RI dengan ketua harian tokoh-tokoh nasional senior atau Menneg Ristek.

”Lembaga seperti ini yang akan bisa memadukan dan menyatukan langkah penelitian pangan Indonesia ke depan. Sekarang memang sudah ada konsorsium riset inisiatif dari Deptan, tetapi tampaknya belum jalan seperti yang diharapkan,” katanya.

Dana dua kali lipat

Mentan menambahkan, dalam rangka mendorong kemajuan riset pertanian, pihaknya mengalokasikan anggaran riset tahun 2008 sebanyak dua kali lipat dibandingkan tahun 2004. Riset pangan juga dibuat lebih fokus dan ada target tertentu, tidak sekadar memenuhi cum para peneliti.

Kepala Badan Litbang Pertanian Deptan Gatot Irianto meyakinkan, pihaknya akan sungguh-sungguh dan total membangun riset pertanian, khususnya pangan.

Totalitas bisa dilihat dari besarnya alokasi anggaran riset. Tahun 2008 alokasi dana riset paling tinggi adalah sebesar Rp 89 miliar atau 10 persen dari total anggaran Litbang Deptan yang sebesar Rp 890 miliar.

Karena peningkatan anggaran riset pertanian diambil dari anggaran pendidikan 20 persen di APBN, kata Mentan, Departemen Pendidikan harus bekerja sama dengan pihak lain.

Misalnya saja pihak perguruan tinggi lebih fokus pada center of excellence, sedangkan riset terapan oleh lembaga riset di Deptan, Batan, Kementerian Negara Ristek, dan LIPI.

Bekerja sendiri-sendiri

Arif mengungkapkan, masalah di dunia riset di Indonesia sekarang adalah setiap lembaga riset bekerja sendiri-sendiri. Komunikasi intens dan terbuka belum ada sehingga kerap terjadi duplikasi penelitian.

Dengan adanya komunikasi, akan ada efektivitas dan efisiensi anggaran riset. Tanpa ada komunikasi itu, dana sebesar apa pun tidak akan efektif. Yang terjadi justru pemborosan.

”Sekarang ini kita tidak tahu LIPI melakukan riset apa, begitu pula dengan Deptan, Batan, dan Kementerian Negara Ristek. Ini harus dibuka, ada semacam pusat komunikasi yang bisa diakses bersama agar tidak terjadi duplikasi. Dengan komunikasi yang baik, masing-masing peneliti tidak harus memulai penelitian dari tingkat awal, tetapi bisa langsung melanjutkan. Dengan begitu akan lebih cepat menghasilkan temuan,” ujar Arif.

Masalah riset merupakan masalah tata kelola (pemerintahan) yang belum berjalan secara konvergen. Sumber daya manusia, dalam hal ini peneliti, memadai. Banyak doktor peneliti yang memiliki kemampuan tidak kalah dengan peneliti dari negara lain, tetapi mereka sibuk dan tekun dengan penelitiannya sendiri.

Dalam hal pendanaan, lanjut Arif, memang akses masih terbatas. Dana memang ada, meski tidak besar, tetapi sulit diakses, baik di Batan, Kementerian Negara Ristek, LIPI, maupun Deptan. Padahal, setiap kali menemukan varietas unggul bermutu yang baru, diwajibkan menjalani uji multilokasi sebelum bisa dilepas.

Menanggapi adanya tambahan dana riset, Arif mengatakan, pihaknya amat gembira. ”Saat ini IPB telah menggariskan agenda risetnya untuk menjawab terwujudnya kedaulatan pangan dan energi,” katanya.

Benahi sistem

Sugiono Moeljopawiro, pemulia dan peneliti senior di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, mengatakan, untuk mengembangkan riset perbenihan di Indonesia, yang paling utama dibenahi adalah sistemnya.

Maksudnya, semua orang atau institusi boleh merakit varietas unggul baru, tetapi harus mengetahui sejak awal mau ditanam di mana. Hal ini terkait dengan interaksi antara varietas dan lingkungan, di mana suatu varietas hanya unggul di lokasi atau daerah tertentu, tetapi tidak di semua lokasi di Indonesia.

”Jadi harus dirakit varietas unggul regional. Konsekuensinya harus ada revisi Undang-Undang No 12 Tahun 1992,” katanya.

Dengan demikian, tidak perlu lagi pelepasan varietas dengan keharusan uji multilokasi. Selanjutnya, varietas unggul regional itu harus dilindungi dengan perlindungan varietas tanaman (PVT) agar benih hasil riset tersebut tidak dipakai seenaknya saja oleh siapa pun, apalagi perusahaan multinasional.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, yang juga guru besar sosial ekonomi pertanian Universitas Jember, Rudi Wibowo, mengingatkan, sekarang ini bukan hanya penelitian yang lemah, tetapi kebijakan pemerintah juga lemah dan sering kurang memerhatikan pertanian sebagai kepentingan nasional. Impor terus dilakukan dan produk pertanian pangan dalam negeri terus dikalahkan. Contoh nyata adalah bagaimana bocornya gula rafinasi.

Menanggapi itu, Anton mengatakan, kebijakan bea masuk produk pangan bersifat dinamis. Artinya, kebijakan itu berubah, bergantung pada kondisinya.

Ketika pemerintah memutuskan menurunkan bea masuk (BM) produk pangan impor, saat itu pemerintah dihadapkan pada tingginya harga komoditas pangan di pasar dunia. Kalau BM tak diturunkan, konsumen akan menjerit akibat harga terlalu mahal. ”Kita tidak bisa melihat persoalan secara sepotong, harus dilihat konteksnya,” ujar Anton Apriyantono. (MAS)

[ Kembali ]

Riset Pertanian Mesti Kuat

TAJUK RENCANA KOMPAS
Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 3 September 2008

Negara maju menghabiskan dana begitu besar dan waktu yang relatif lama untuk melakukan riset guna menemukan sesuatu yang lebih maju. Mereka serius.

Riset memang harus serius dan kuat untuk unggul, efisien, dan akhirnya dapat memenangi persaingan global. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa dan korporasi multinasional berlomba melakukan riset yang kuat, komprehensif, dan mendalam.

Tidak terkecuali di bidang pertanian. Selain untuk pangan manusia, komoditas pertanian juga untuk ternak dan bahan bakar alternatif.

Urgensi riset pertanian kita angkat karena kita ditakdirkan memiliki iklim dan alam yang cocok untuk pertanian. Sumber kehidupan lebih dari 44 persen dari total penduduk Indonesia ada di sektor ini.

Seperti diangkat sebelumnya, Indonesia masuk dalam ”perangkap pangan” negara maju dan kapitalisme global. Indikasinya, dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, kita sangat bergantung pada produk impor. Empat di antaranya, yakni gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, dinyatakan sudah kategori kritis.

Kelalaian kita, sebagaimana juga diakui Wakil Presiden Jusuf Kalla, adalah riset dan penelitian tentang komoditas pertanian kita masih lemah.

Iklim dan kondisi alam yang mendukung pertanian jelas merupakan modal dasar kita. Namun, tanpa disertai riset pengembangan komoditas, mulai dari aspek rekayasa dalam budidaya sampai aspek pascapanen, pengolahan, dan pemasaran, modal besar itu hanya akan tergerus, melemahkan daya saing pertanian kita, seperti halnya yang terjadi kini. Kita menjadi pengimpor.

Perguruan tinggi yang memiliki studi pertanian melakukan dan memiliki tradisi riset. Lembaga riset dan penelitian milik pemerintah juga melakukannya. Namun, kecepatan riset kita menemukan sesuatu yang lebih maju secara signifikan dan lebih unggul masih perlu diperkuat. Dalam konteks ini dan dalam perspektif persaingan global, ikhtiar kita masih sangat minim dibandingkan dengan negara lain.

Segala sumber daya yang kita gunakan untuk riset dan penelitian sudah waktunya dihimpun. Langkah dan gerakan disatukan untuk mencapai efisiensi nasional. Bukan rahasia lagi, karena egoisme sektoral instansi pemerintah, perguruan tinggi, pemanfaatan sumber daya kita yang memang terbatas sering kali sia-sia. Suatu jenis penelitian atau riset dikerjakan oleh semua pihak. Sekadar untuk terkesan ada kegiatan, tanpa memperhitungkan kontinuitas riset yang memang memerlukan durasi cukup panjang dan dana besar.

Kalau sumber daya yang bertebaran pada lembaga, dan sering kali bertabrakan satu sama lain itu dikoordinasikan dalam suatu konsorsium riset, misalnya, tentu hasilnya jauh lebih optimal dan berkelanjutan.

Riset sudah harus dilihat sebagai hidup mati bangsa. Dalam keterbatasan negara, korporasi dan swasta nasional harus diberi peran dan panggungnya.

[ Kembali ]


Jumat, 29 Agustus 2008

Kebun Sawit Bakal 7,4 Juta Hektar

Papua Menjadi Incaran Banyak Investor

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 28 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Meski dinilai memberi sumbangan besar terhadap deforestasi di Indonesia dan emisi karbon, pembukaan lahan untuk kebun kelapa sawit terus berlangsung. Lahan kebun sawit 6,7 juta hektar di tahun 2007 akan menjadi 7,4 juta hektar pada 2008.

Tingginya permintaan pasar dunia akan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) memengaruhi perluasan lahan. Sejumlah daerah melaporkan tingginya permintaan lahan baru tersebut.

”Tidak semua perluasan membuka lahan baru. Dari total lahan yang akan ditanami, pembukaan lahan baru di bawah 200.000 hektar,” kata Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian (Deptan) Achmad Mangga Barani di Jakarta, Rabu (27/8).

Mangga Barani mengaku tidak tahu persis status lahan baru yang akan dibuka karena izin pembukaan lahan ada di tangan pemerintah provinsi dan kabupaten. Hanya saja, Deptan telah meminta agar izin baru tidak diberikan untuk lahan gambut hingga ada keputusan resmi—lahan gambut boleh dibuka atau tidak.

Hasil analisis gambar satelit Greenpeace tentang tutupan lahan antara tahun 2001 dan 2007 menunjukkan, konsesi kelapa sawit membuka lahan hutan aktif, di antaranya lahan gambut. Aktivitas itu berpotensi menghasilkan emisi 80-100 ton karbon dioksida (CO>sub<2>res<>res<) per hektar per tahun di luar kebakaran hutan.

Mengarah ke Papua

Sejumlah daerah yang akan dilakukan pembukaan lahan baru, di antaranya, Papua, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. ”Di masa mendatang akan banyak di Papua,” kata Mangga Barani.

Saat ini, ribuan hektar hutan di Papua menunggu waktu dibuka untuk kebun sawit. Sebaliknya, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) justru mengumumkan Visi Aceh Hijau, yang di antaranya menghentikan pembukaan hutan termasuk dari rencana kebun sawit.

”Kami sedang menginventarisasi kebun sawit yang terbengkalai, apakah mungkin dialihkan ke investor baru,” kata anggota tim pengelolaan hutan Aceh Wibisono. Mereka akan membuktikan bahwa investasi dapat berlanjut tanpa membuka hutan baru.

Kepada wartawan, Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun mengatakan, pembukaan lahan baru akan terus dijalankan asalkan sesuai dengan ketentuan pemerintah dan prinsip-prinsip berkelanjutan.

Gapki, secara tegas, menolak tawaran jeda sementara (moratorium) pembukaan lahan gambut. Alasannya, prinsip-prinsip dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sudah cukup memenuhi tuntutan ramah lingkungan.

Hal senada diungkapkan Susanto, perwakilan PT SMART, anak perusahaan Sinar Mas Grup di bidang bisnis kelapa sawit. Perusahaan yang telah menanami lahan seluas 300.000 hektar itu menyatakan akan terus menambah produksi.

Ditemui di sela-sela pertemuan yang digelar Greenpeace Asia Tenggara di Jakarta, dua hari lalu (Selasa, 26/8), Susanto menegaskan, perluasan itu tidak akan membuka lahan gambut. ”Kami membukanya di area lain yang sudah dicadangkan pemerintah,” katanya.

Diakuinya, salah satu konsesi PT SMART dalam skala besar berada di Papua. Namun, ia tidak membenarkan total luasan hingga 1 juta hektar di pulau itu, seperti dilansir Greenpeace dalam laporannya berjudul ”Menggoreng Iklim”.

Ia hanya menyatakan, PT SMART per tahun akan menanami 10.000 hektar. ”Kami tak lagi membuka lahan dengan membakar sejak tahun 2.000-an,” ujarnya menanggapi tudingan pembakaran hutan yang banyak dilakukan perusahaan kelapa sawit. (GSA)

[ Kembali ]

Mengapa Minat Studi Pertanian Menurun?

Ketertarikan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 28 Agustus 2008.

Oleh Surya Abadi Sembiring

Harian Kompas, 1 Agustus 2008, menyoroti jurusan pertanian menyisakan 9.019 kursi kosong di 47 perguruan tinggi negeri. ”Tajuk Rencana” Harian Kompas, 2 Agustus 2008, secara khusus membahas topik tentang studi pertanian kurang peminat. Dalam pembahasan topik tersebut diuraikan fakta dan rekomendasi.

Sebagian besar anak petani tidak berminat memilih jurusan pertanian meskipun biaya studinya dari kegiatan usaha tani. Kalau anak petani tidak bersedia memilih jurusan pertanian, bagaimana dengan anak nonpetani?

Anak petani tidak mau seperti orangtuanya meskipun telah mendapat pelajaran di sekolah bahwa Indonesia adalah negara agraris dan penjelasan lainnya. Dalam benak penulis, para petani telah rela menjadikan mereka sebagai hamba bagi banyak orang dan sebagai hamba mereka melakukan tugasnya dengan tanggung jawab, dedikasi yang tinggi, kejujuran, tidak selalu mendapatkan pujian dan sering dilupakan.

Ataukah orangtua sebagai petani dengan sadar tidak mendorong anaknya masuk ke jurusan pertanian karena menjadi petani identik dengan kesulitan. Dalam perjalanan kehidupannya yang panjang sebagai petani, frekuensi tertawa (ketika hasil usaha taninya dijual dengan harga yang tinggi) lebih sedikit dibandingkan dengan rasa kecewa dan sedih (ketika harga-harga input yang terus naik dan harga usaha taninya tidak menentu). Apabila petani lebih sering kecewa dan dalam kesedihan, anaknya pun ikut merasakannya dan tidak termotivasi memilih jurusan pertanian.

Apakah calon mahasiswa tidak memilih karena menjadi petani identik dengan kemiskinan? Si calon mahasiswa mengalami dan melihat pengalaman orangtuanya yang selalu meminjam setiap membiayai sekolahnya atau memenuhi kebutuhan hidup lainnya sehingga memutuskan tidak memilih pada jurusan pertanian.

Modal terbatas

Gambaran petani Indonesia identik dengan skala usaha sempit, modal terbatas, teknologi yang kurang berkembang, dan tingkat pendidikan rendah. Paradigma tersebut secara tidak langsung membentuk pola berpikir calon mahasiswa. Dalam benak seorang calon mahasiswa terbentuk suatu paradigma bahwa ”menjadi petani tidak perlu pendidikan yang lebih tinggi”. Si calon mahasiswa berkaca dari orangtuanya yang tidak mengecap pendidikan tinggi, tetapi terampil mengelola usaha taninya. Kadang rumor yang beredar bahwa ”petani lebih terampil dari seorang sarjana pertanian”. Khusus di daerah pertanian yang petaninya sudah lebih maju ada istilah ”jangan ajari petani cara bercocok tanam”.

Lebih menjadi pertanyaan, hasil survei suatu perguruan tinggi yang fokus di bidang pertanian menunjukkan hanya sebagian kecil mahasiswa memilih bekerja di bidang pertanian daripada bekerja di nonpertanian.

Mengapa? Karena, kondisi sekarang, bidang nonpertanian membutuhkan tenaga kerja lebih banyak dan menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik. Pada kolom Klasika Harian Kompas (Hal 33 sampai 44, 2 Agustus 2008) ada 940 perusahaan/jasa membutuhkan tenaga kerja, tetapi hanya 3 (tiga) perusahaan atau sekitar 0,31 persen dari total perusahaan/jasa yang membutuhkan tenaga kerja di bidang sarjana pertanian. Fakta tersebut berbicara secara nyata bahwa memilih program studi nonpertanian lebih menjanjikan dibandingkan dengan pertanian. Oleh karena itu, tidak perlu heran apabila seorang sarjana pertanian juga memilih bidang nonpertanian.

Dalam temu wicara antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan petani dan peneliti pada Pekan Padi Nasional III tanggal 24 Juli 2008 di Sukamandi, peneliti menyampaikan keluhan kepada Presiden SBY. Intinya, ” kalau seorang pemain sepak bola yang memasukkan sebuah gol ke gawang lawan dihargai puluhan juta, juara bulu tangkis diberi penghargaan yang tinggi, tetapi peneliti yang menghasilkan varietas baru tidak dihargai”.

Presiden SBY merespons keluhan peneliti tersebut untuk ditindaklanjuti oleh Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi sebagai suatu masukan bagi jenjang karier seorang peneliti. Coba renungkan, para peneliti di bidang pemuliaan tanaman, dalam kesendirian bergelut dengan penelitiannya, tidak ada sorak-sorai penonton seperti di cabang sepak bola atau bulu tangkis, menemukan varietas padi baru dan varietas tersebut dinikmati dan mampu meningkatkan pendapatan banyak petani, tetapi peneliti (sarjana pertanian) tidak pernah mendapatkan penghargaan yang layak. Apakah masih ada yang berminat memilih jurusan pertanian?

Kalau kita jujur, apakah dosen/peneliti/pegawai negeri yang bergelut dengan dunia pertanian juga pernah memotivasi anaknya memilih jurusan pertanian? (masalah pilihan memang ada pada mereka). Penulis tahu ada seorang guru besar yang mengajar di fakultas pertanian mempunyai seorang anak kuliah di jurusan pertanian. Sebelum calon mahasiswa memilih jurusan pertanian, komunikasi telah berlangsung antara anak dan guru besar tersebut.

Harus diakui bahwa selama ini pembangunan kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan (pertanian) cenderung terpolarisasi. Pada kutub yang satu, kawasan perkotaan berkembang dengan cepat, berpendapatan tinggi, modern, dan menjadi pusat pertumbuhan, sedangkan pada kutub yang lain terdapat kawasan pedesaan yang berkembang lambat, berpendapatan rendah, terbelakang, dan tergolong miskin. Kondisi ini juga memungkinkan seorang calon mahasiswa tidak memilih jurusan pertanian karena identik kembali ke desa.

Presiden SBY dalam pembukaan Pekan Padi Nasional III menyebutkan bahwa sekarang waktunya beralih dari revolusi hijau tahap pertama ke revolusi hijau tahap kedua yang ramah lingkungan. Revolusi hijau pertama telah berhasil meningkatkan produktivitas padi, tetapi kehilangan kehidupan biodiversiti, Di sisi lain, perubahan eksternal, seperti meningkatnya permintaan produksi pertanian organik, ekses permintaan pangan di tingkat dunia, serta kompetisi antara pakan dan energi terhadap produksi pangan, seharusnya menjadi tantangan sekaligus peluang sektor pertanian.

Perubahan kebijakan dan kondisi eksternal seharusnya membutuhkan lebih banyak sarjana pertanian, tetapi calon mahasiswa yang memilih jurusan pertanian minim.

Kebijakan pemerintah yang berpihak kepada petani akan meningkatkan kesejahteraan para petani sehingga memiliki kesempatan membiayai anaknya mencapai pendidikan lebih tinggi, tetapi anak tersebut bukannya memilih jurusan pertanian. Apa dan siapa yang salah apabila bangku program studi pertanian masih kosong sebanyak 9.019 kursi di 47 perguruan tinggi negeri di Indonesia?

SURYA ABADI SEMBIRING Mahasiswa S-3 Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SPs IPB; Dosen Unika St Thomas, Medan

[ Kembali ]

Hilangnya Daya Tarik Pendidikan Pertanian

Prospek
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 28 Agustus 2008

Oleh Benyamin Lakitan

Pasti ada yang salah dengan dua fakta yang terkesan kontradiktif ini. Pertama, harga pangan dunia yang melonjak tajam—berarti ada prospek bisnis di sektor ini—dan pemerintah pada saat ini memberikan subsidi yang besar (33 triliun tahun 2008 dan 35 triliun tahun depan) untuk menggenjot produksi pangan.

Kedua, sangat rendahnya minat lulusan SMA untuk menempuh pendidikan tinggi di bidang pertanian—yang secara meyakinkan dibuktikan dengan 2.894 kesempatan masuk perguruan tinggi negeri untuk bidang ilmu-ilmu pertanian yang tidak dimanfaatkan pada tahun ini. Fenomena ini tidak hanya terjadi tahun ini, tetapi juga pada beberapa tahun belakangan ini.

Dua fakta ini tentu mengundang tanya walau ada faktor penarik yang seharusnya menjadikan bisnis pangan menjadi lebih atraktif, yakni masih besarnya permintaan pasar untuk komoditas pangan dengan harga yang tinggi, dan dukungan pemerintah yang besar sebagaimana tercermin dari besarnya subsidi pangan. Akan tetapi, mengapa bisnis ini masih belum atraktif?

Apakah rendahnya minat kuliah bidang pertanian ini merupakan cerminan dari kegagalan kelembagaan terkait dalam meyakinkan publik tentang pentingnya sektor pertanian untuk masa depan perekonomian nasional? Atau hanya karena alasan praktis, yakni bekerja di sektor pertanian tidak memberikan reward finansial yang menarik?

Memang sulit mengemas bisnis pertanian agar menarik, kecuali untuk perkebunan komoditas ekspor. Citra bisnis pertanian saat ini adalah marjin keuntungannya yang tipis dan risiko gagalnya yang besar, apalagi akibat ketidakpastian musim seperti sekarang ini.

Salah satu bentuk disinsentif adalah rendahnya dan ketidakstabilan harga komoditas pangan pokok. Karena merupakan komoditas strategis, pemerintah melakukan regulasi harga; tetapi di sisi lain, karena kapasitas kelembagaan dan anggarannya yang kurang memadai, stabilitas harga pangan tidak sepenuhnya mampu dikendalikan. Akibatnya, harga pangan domestik akan selalu rendah dan fluktuatif.

Beberapa pengusaha besar memang mulai menunjukkan ketertarikannya pada bisnis pertanian pangan, sebagai respons terhadap lonjakan harga pangan dunia saat ini, yang juga diprediksi akan tetap tinggi untuk beberapa tahun ke depan. Maknanya, para investor ini akan mengorientasikan bisnis pangannya untuk tujuan ekspor.

Ada kegembiraan dari masuknya pengusaha besar ke bisnis pangan ini. Tentu akan membuka kesempatan kerja dan mempermudah pemerintah mencapai status surplus pangan. Namun, tentu harus ada pengaturan yang adil, misalnya harus ada domestic market obligation bagi usaha besar ini.

Jangan sampai petani kecil menanggung beban memenuhi pasar domestik dengan harga jual yang rendah, sedangkan usaha besar menangguk keuntungan besar dari ekspornya ke pasar internasional dengan harga jual yang tinggi.

Dengan pengaturan yang bijak oleh pemerintah, geliat usaha pertanian pangan tidak hanya akan menjamin pasokan pangan domestik, memperoleh keuntungan dari tingginya harga pangan dunia, tetapi juga akan membuka kesempatan kerja bagi lulusan pertanian.

Ketidakmenarikan pendidikan tinggi bidang pertanian bisa karena faktor eksternal ataupun internal. Umumnya calon mahasiswa sekarang lebih realistis dalam memilih bidang ilmu yang akan digelutinya di perguruan tinggi. Peluang kerja setelah menyelesaikan studi menjadi faktor dominan dalam memilih bidang ilmu.

Kebutuhan tenaga kerja sektor pertanian sesungguhnya belum jenuh, masih cukup banyak kebutuhannya. Apalagi, karena sektor ini sedang terus digenjot pemerintah. Akan tetapi, relatif banyak alumnus pertanian yang bekerja di luar sektor pertanian dan banyak pula alumnus pertanian yang belum mendapat pekerjaan tetap setelah beberapa tahun selesai studi.

Kenyataan ini menjadi promosi negatif bagi para lulusan SMA. Dampaknya, dalam beberapa tahun terakhir ini minat masuk perguruan tinggi bidang pertanian terus merosot.

Selain perlu kebijakan makro untuk menaikkan harkat ekonomi pekerja sektor pertanian, tentu juga perlu reorientasi pendidikan tinggi pertanian. Perlu meninjau kembali kelayakan program-program studi yang ditawarkan. Perlu penyesuaian kurikulum agar lebih menyentuh realitas saat ini dan kebutuhan masa depan.

Akademisi perlu mempertajam sensitivitasnya terhadap dinamika dunia nyata dan secara cepat meresponsnya, antara lain dengan merancang kurikulum yang berkesesuaian dan mengisi muatannya yang relevan dengan kebutuhan nyata. Hanya ini yang akan membuat paket pendidikan tinggi pertanian menjadi kembali menarik.

Kita sudah tertinggal dalam berbagai bidang profesi, maka akan sangat ironis jika kita juga tidak mampu memenuhi kebutuhan sumber daya manusia (SDM) pertanian yang andal untuk mendukung pembangunan sektor perekonomian ini.

Benyamin Lakitan Ketua Komisi Teknis Bidang Pangan Dewan Riset Nasional sejak 2005

[ Kembali ]

Kamis, 14 Agustus 2008

Daud Pun Mengalahkan Goliat di WTO

Fokus
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 14 Agustus 2008.

Membahana dan menggelegar serta mirip pertarungan Daud melawan Goliat. Tidak banyak yang tahu, tetapi itulah yang terjadi pada setiap perundingan perdagangan internasional sejak Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO meluncurkan Putaran Doha tahun 2001 di Qatar.

Goliat WTO (AS dan Uni Eropa) tak lagi bisa mendikte Daud, negara berkembang yang selama bertahun-tahun diserbu produk-produk buatan Goliat. Green Room, sebuah ruang pertemuan yang hanya menampung 30-40 perwakilan negara anggota di Geneva, markas WTO, tak lagi menjadi ajang di mana ”penjajah” bisa semena-mena mendikte.

Lanjutan Putaran Doha, julukan bagi serangkaian pembicaraan, terbaru berlangsung 21-30 Juli lalu akhirnya gagal juga. Direktur Jenderal WTO Pascal Lamy sedih sekaligus terperangah. ”Kegagalan perundingan memperlihatkan negara berkembang ingin mengakhiri praktik- praktik kolonial yang selalu menguntungkan negara maju,” kata Lamy pada Radio France Inter.

”Kali ini negara berkembang menginginkan peraturan yang berimbang, khususnya soal sektor pertanian,” kata Lamy.

Kegagalan itu terjadi akibat perlawanan kepada Goliat. Selama ini negara maju sudah berkuasa dalam teknologi dan produk jasa (keuangan, perbankan), kini pun mereka ingin membanjiri negara berkembang dengan produk-produk pertanian. Di mana kesempatan negara berkembang menjual produknya, khususnya sektor pertanian, termasuk kapas Afrika yang unggul, tetapi terhambat memasuki pasar negara maju?

Ada semacam tipu muslihat. Negara berkembang dituntut menerima impor produk pertanian negara maju. Hal ini disetujui dengan batasan. Jika impor melebihi 115 persen dari basis volume impor, negara berkembang bisa mengenakan tarif impor tambahan.

Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, ini adalah hak yang dituntut negara berkembang dalam skema mekanisme pengamanan khusus (special safeguard mechanism/SSM) yang diperjuangkan di Hongkong tahun 2005.

AS menginginkan tarif tambahan hanya bisa dikenakan jika volume impor telah melebihi 140 persen dari basis impor. Kepala Perwakilan Dagang AS Susan Schwab secara mengejutkan memaksakan hal ini dalam pertemuan G-7 WTO (AS, Uni Eropa, Jepang, Australia, Brasil, India, dan China). Pertemuan G-7, yang terbatas pada tujuh negara, merupakan taktik AS untuk menekan negara berkembang yang diwakili India, Brasil, dan China.

Menteri Luar Negeri Brasil Celso Amorim serta Menteri Perdagangan dan Perindustrian India Kamal Nath menolak tegas. Penolakan ini membuat suasana perundingan memanas. Schwab langsung menuding sejumlah negara berkembang (India, China, dan Brasil) telah menghambat suksesnya perundingan. ”Jika pembatasan dilakukan setelah impor menjadi 140 persen, para petani di negara berkembang sudah keburu terpuruk,” kata Mari.

Mari mengatakan, penolakan negara berkembang bukan hanya itu, melainkan juga soal proses dan mekanisme perundingan. Misalnya, kepada Pascal Lamy ia langsung mempertanyakan, ”Mengapa ada draf kesepakatan yang muncul tanpa diketahui dan tanpa proses yang melibatkan negara berkembang?”

Mari menuntut setiap kesepakatan harus bisa berlaku secara operasional dan efektif. Artinya, sebaiknya tidak ada negara yang menjadi bingung akibat sebuah kesepakatan yang mengganggu dan memberi distorsi.

Membentuk kelompok

Mari menceritakan mengapa perlawanan seperti itu muncul dan makin mengkristal. Hal ini terpicu pada pertemuan di Cancun, resor wisata di Meksiko, yang juga merupakan lokasi Putaran Doha tahun 2003.

Di Cancun, mendadak muncul Singapore Issues. AS mengingkari janji yang pernah diutarakan oleh George W Bush bahwa perdagangan harus menjadi sarana pemberantasan kemiskinan di negara berkembang.

Artinya, ada hak-hak negara berkembang untuk mengembangkan sektor pertanian tanpa keharusan membuka diri pada serbuan semua produk pertanian negara maju. Di sisi lain, negara berkembang berhak menuntut negara maju menghilangkan subsidi pertanian bagi para petani agar negara berkembang itu memiliki daya saing menghadapi petani Barat, yang selama ini mabuk subsidi.

”Muncullah kesadaran negara berkembang, yang kemudian membentuk kelompok-kelompok, seperti G-20, G-33, dan G-90,” kata Mari. Ini menjadi ajang bagi negara berkembang untuk tetap bersatu membela kepentingannya. Mari menjadi Ketua Koordinasi G-33.

Amorim dan Nath pun memberi tahu perkembangan kepada Mari untuk pertemuan yang hanya dihadiri G-7 WTO. Nath pernah mengatakan, Indonesia termasuk mitra andalan di WTO. Kontak intensif pun berlanjut, khususnya antara Indonesia, India, Brasil, China, Meksiko, Kenya, dan Afrika Selatan, pentolan negara berkembang.

Kegagalan perundingan di sektor pertanian pun mau tak mau merembet ke sektor lain, yang sebenarnya mencapai kemajuan. Ini gagal karena sikap AS dan Uni Eropa yang mempraktikkan era kolonialisme.

”Masalahnya, keputusan di WTO didasarkan pada konsensus. Tak ada yang bisa disetujui hingga semua hal sama-sama disepakati,” kata Mari. (MON)


[Kembali]


Jumat, 08 Agustus 2008

Yang Menanam, yang Sengsara

NASIB PETANI KECIL
Oleh AHMAD ARIF
Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, 11 Juli 2008.
Matahari bulan Juli yang terik telah mengisap habis sisa air di sawah Sudarso (60), petani di Desa Ligung Kidur, Kecamatan Ligung, Majalengka, Jawa Barat. Tanah merengkah membuat tanaman padinya yang sudah saatnya penen itu mengering tanpa isi.
Siang itu Sudarso membabat tanaman padinya dan mengonggokkannya di sudut sawahnya. ”Hanya panen sepiring gabah. Sisanya hanya bisa untuk pakan ternak karena hampir semuanya puso,” kata Sudarso mengeluh.
Untuk biaya tanam dan biaya sewa lahan seluas 1.000 meter, Sudarso telah mengeluarkan modal Rp 1 juta. ”Yang Rp 750.000 berasal dari utang tetangga,” tambah Sudarso.
Jika panen berhasil, Sudarso diharuskan menjual padi ke tetangganya yang pemilik penggilingan padi. Biasanya dengan harga lebih rendah daripada harga pasar. Namun, panen padi Sudarso kali ini ternyata gagal. Utang pun tak bisa terbayar.
”Belum tahu harus membayar dengan apa. Untuk makan saja sulit,” katanya.
Menurut Sudarso, menanam padi seperti berjudi. Kadang berhasil, tetapi lebih sering gagal. ”Jika musim hujan sering kebanjiran, kalau kemarau kekeringan,” jelasnya. Meski sering kalah, Sudarso tak pernah bisa berhenti bertani.
Sudarso merasakan kehidupan petani semakin berat. Hampir semua hasil panen habis untuk menutup utang. Itu pun terkadang kurang. Tingginya biaya tanam—termasuk sewa lahan—telah menjerat petani-petani kecil seperti Sudarso ini.

Biaya tanam
Biaya tanam padi menjadi masalah yang diabaikan oleh pemerintah. Selalu saja yang menjadi perhatian adalah produktivitas pertanian dalam angka-angka nasional. Adapun masalah tingginya biaya tanam yang terkait erat dengan besar-kecilnya keuntungan bersih petani selalu saja diabaikan.
Petani kecil menjadi pihak yang harus menanggung beban tingginya biaya tanam yang terus naik, sedangkan kenaikan harga dasar gabah di lapangan lebih banyak dinikmati oleh pengusaha dan pedagang.
Di berbagai daerah yang tak terlayani irigasi teknis, biaya tanam yang dibebankan kepada petani ini ditambah dengan biaya untuk irigasi yang sangat mahal. Petani harus mengeluarkan uang untuk menyedot air menggunakan pompa.
Misalnya di Indramayu dan Cirebon, yang merupakan lumbung padi nasional, setiap memasuki musim tanam kedua (antara periode Mei hingga Juli) petani di sawah primer yang harusnya teraliri irigasi terpaksa harus menggunakan pompa untuk mengairi sawah mereka. Sebab, air dari saluran irigasi tak sanggup mencapai sawah mereka.
”Biaya untuk mengairi sawah saat ini sudah hampir sama dengan biaya pupuk dan pestisida dalam satu musim tanam, mencapai hampir Rp 1 juta per hektar,” jelas Maryadi (43), petani di Desa Kalideres, Kecamatan Kaliwedi, Cirebon.
Tak hanya menyangkut masalah ekonomi, kelangkaan air telah memicu konflik antarpetani. ”Setiap musim kemarau seperti sekarang ini kami harus terus bergerilya mencari air. Tahun lalu terjadi bentrok antara petani Indramayu dan Cirebon,” tambah Maryadi.
Kenyataan ini menguatkan paparan seorang panelis diskusi tentang ketahanan pangan yang diselenggarakan harian Kompas, akhir Juni lalu. Sang panelis mengungkapkan bahwa saat ini infrastruktur irigasi sangat memprihatinkan. Dari 8,6 juta hektar sawah, hanya 11 persen yang diairi irigasi dari waduk. Dari saluran irigasi tersebut, banyak di antaranya yang sudah tergolong rusak ataupun debit airnya tidak lagi memadai.

Dogma revolusi hijau
Pemerintah sepertinya tak pernah beranjak dari dogma revolusi hijau yang hanya berorientasi untuk mendongkrak produktivitas sektor pertanian, tetapi melupakan petani kecil yang banting tulang menanam padi.
Hasil penelitian Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan, sebanyak 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar. Dengan luas lahan ini, petani hanya mendapatkan keuntungan semusim antara Rp 325.000 hingga Rp 543.000 atau hanya Rp 81.250 hingga Rp 135.000 per bulan.
Jika setiap rumah tangga petani memiliki anggota keluarga empat orang, pendapatan per kapita komunitas petani hanya sekitar Rp 34.000 per bulan. Ini berarti setara dengan Rp 400.000 per tahun (pendapatan ini lebih rendah daripada tingkat upah minimum per bulan yang diterima tenaga kerja di sektor formal).
Perhitungan itu hanya berlaku jika panen berhasil. Lalu, bagaimana jika gagal panen?
”Sudah dua tahun kami tak berani menggarap lahan. Biaya tanam terlalu besar. Hidup kami bergantung pada kiriman uang dari anak yang bekerja di Surabaya sebagai buruh bangunan,” kata Dalisah (55), petani penggarap di Desa Compreng, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Sebelumnya, petani-petani ini tak pernah mengenal kata utang. ”Dulu semua dikerjakan sendiri. Benih kami punya sendiri, pupuk dari kotoran ternak sendiri. Paling hanya butuh bantuan mengolah tanah, yang biasanya maron (sistem bagi hasil),” kata Sulasih, petani dari Desa Compreng.
Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Mubiar Purwasasmita mengatakan bahwa kunci dari peningkatan kesejahteraan petani adalah dengan meningkatkan kemandirian mereka. ”Petani harus didorong menggunakan benih padi nonhibrida, pupuk organik, dan pestisida organik yang bisa dibuat sendiri,” tuturnya.
Selain mengurangi biaya tanam, hal tersebut juga akan memperbaiki kualitas tanah, yang dalam jangka panjang akan menguntungkan petani. ”Tanah yang selalu diberi pupuk kimia dan pestisida akan tandus serta membutuhkan biaya pengolahan yang terus naik,” jelas Mubiar.
Seorang panelis diskusi menyebutkan, ketersediaan pupupuk kimia bersubsidi untuk petani saat ini juga mengkhawatirkan. Di samping banyaknya kebocoran ke luar negeri, yang menyebabkan kelangkaan pasokan di petani, pasokan gas untuk pabrik pupuk juga tak memadai.
Apa jadinya jika kemandirian petani untuk menyediakan pupuk secara mandiri sudah dipangkas, sedangkan pemerintah yang selama ini menyediakan pupuk bersubsidi gagal memenuhi kewajibannya?

[Kembali]

Rezim Pertanian Remukkan Petani

KRISIS
Oleh MARIA HARTININGSIH
Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, 11 Juli 2008.

Ini proyeksi konservatif dari Bank Dunia: lebih dari 100 juta orang di dunia mengalami kelaparan karena krisis pangan yang melanda banyak negara. Pada saat yang sama, keuntungan segelintir korporasi transnasional (TNCs) di bidang pangan meningkat berlipat-lipat.
Editor lingkungan The Independent di Inggris, Geoffrey Lean (04/05/08), menulis, pendapatan bersih Monsanto tiga bulan terakhir—sampai akhir Februari 2008—meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan rentang waktu sama pada tahun sebelumnya: dari 543 juta dollar AS menjadi 1,12 miliar dollar AS.
Korporasi transnasional lainnya, Cargill, menangguk kenaikan sekitar 86 persen, dari 553 juta dollar menjadi 1,030 miliar dollar AS. Tujuh tahun terakhir ini Cargill menginvestasikan 17 miliar dollar AS dalam bentuk modal tetap dan modal kerja, termasuk untuk riset dan pengembangan. Pendapatan bersih salah satu korporasi pengolah bijian-bijian terbesar di dunia, Archer Daniels Midland, juga naik sampai 42 persen, dari 363 juta dollar AS menjadi 517 dollar AS.
Kenaikan pendapatan dan keuntungan di tengah ancaman kelaparan ini, menurut para ilmuwan dan aktivis, memperlihatkan watak dasar korporasi: serakah dan tak punya etika!
Di tengah krisis pupuk, pendapatan bersih korporasi pupuk terbesar di dunia, Mosaic Company, naik 12 kali lipat: dari 42,2 juta dollar AS menjadi 520,8 juta dollar AS. Harga beberapa jenis pupuk naik tiga kali lipat karena kebutuhan yang jauh melampaui pasokan. Situasi itu memukul banyak negara berkembang yang ingin meningkatkan produksi pangannya. Organisasi Pangan Dunia (FAO) melaporkan, 37 negara berkembang sangat membutuhkan pangan saat ini.
Kenaikan harga pangan dunia jelas dipicu oleh kebutuhan yang meningkat. Sebagian disebabkan oleh booming biofuels yang membutuhkan sejumlah besar biji-bijian, sebagian lagi disebabkan oleh kebutuhan daging di India dan China—untuk memproduksi 0,45 kilogram daging, misalnya, dibutuhkan 3,5 kilogram biji-bijian—selain rendahnya cadangan pangan dunia, larangan ekspor, dan kekeringan di Australia.
Namun, menurut Profesor Bob Watson, ilmuwan kepala dari Departemen untuk Masalah Lingkungan, Pangan, dan Pedesaaan AS, kenaikan harga pangan itu terutama dipicu oleh spekulasi.
Harga komoditas pertanian sebenarnya tak berbeda dengan harga minyak. Dalam sistem ekonomi pasar yang kapitalistik, ekonomi spekulan lebih berperan dalam menentukan harga.
Tahun lalu indeks-fund dari investasi di bidang pangan dan daging naik hampir lima kali, mencapai lebih dari 47 miliar dollar AS. Dalam pasar uang, yang penting bukan besarnya aset dasar, melainkan produk-produk instrumen keuangan, seperti future trading dan transaksi derivatif di pasar modal.

Pendekatan suplai
Dengan kondisi seperti itu, pertanyaannya, di mana posisi petani tanaman pangan di Indonesia, yang 48,5 persennya berlahan kurang dari 0,5 hektar dan separuh rumah tangganya hanya menguasai lahan kurang dari 0,25 hektar. Lalu, bagaimana kita menjawab ancaman kelaparan di Indonesia?
Petani di Indonesia adalah soko guru sistem pangan nasional. Puluhan juta keluarga petani berlahan sempit bekerja keras untuk menghasilkan berbagai bahan kebutuhan pangan untuk keluarganya sendiri dan orang lain.
Makanan pokok lebih dari 95 persen penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta saat ini adalah beras, setelah Pemerintah Orde Baru memperkenalkan beras pada komunitas-komunitas yang makanan pokoknya semula nonberas dan kurang memberi perhatian pada budidaya tanaman pangan nonberas. Karena itu, diskusi soal pangan pun biasanya didominasi cerita tentang beras.
Nasib petani pangan dan masa depan sistem pangan Indonesia dipengaruhi oleh konfigurasi ekonomi-politik di tingkat internasional, nasional, dan lokal.
Dalam satu dasawarsa terakhir terjadi berbagai perubahan kebijakan strategis di berbagai tingkatan, termasuk liberalisasi pangan tahun 1998 yang diwujudkan dalam kebijakan di dalam negeri dengan mencabut subsidi pupuk, melepas tata niaga pupuk, menghapus pembiayaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia untuk kredit ini.
Di dalam paket kebijakan reformasi termasuk pembukaan impor beras bagi para importir. Perubahan situasi strategis di semua lini itu membangkitkan kekhawatiran tentang masa depan petani tanaman pangan Indonesia, yang sebagian petani gurem.
Sayangnya, diskusi tak membedah lebih dalam persoalan ini. Semua cerita tentang pangan dalam diskusi lebih dibicarakan dari sisi pasokan, tak sungguh-sungguh serius mencari solusi yang dihadapi produsen primernya, yakni petani gurem itu, bukan para pemodal besar yang beberapa tahun terakhir ini beramai-ramai masuk ke sektor pertanian karena melihat peluang besar di situ.
Penguasaan lahan sangat luas untuk pertanian oleh pemodal besar (corporate farming) di luar Jawa dengan izin pemerintah—dalam otonomi daerah, pemerintah di daerah mengundang investor untuk berinvestasi di wilayahnya dengan menawarkan lahan di wilayahnya—sedikit banyak mengingatkan pada penguasaan hutan dengan skema hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH) yang diciptakan rezim Orde Baru, dengan sejumlah kebijakan yang mendukungnya.
Perkembangan corporate farming membuat cerita tentang ”ketahanan” dan ”kedaulatan pangan” ataupun ”nasionalisme pangan” tak bisa diandaikan karena inklinasinya memberi toleransi pada peluang besar corporate farming, yang cenderung menguasai wilayah hulu sampai hilir dari produksi pangan dan mengukuhi watak dasar korporasi yang sudah disebutkan di atas.

Kedaulatan dari akar
Soal pangan tak seharusnya didominasi dengan upaya meningkatkan produktivitas, apalagi produktivitas pemodal. Revolusi Hijau yang dipromosikan Club of Rome pada awal tahun 1970-an tak mampu menjawab tantangan zaman ketika dampak perubahan iklim kian serius dan bencana akibat alam ataupun ulah manusia kian meruyak.
Masalah pangan juga tak bisa semata demi kestabilan ekonomi karena pertanyaannya jelas: kestabilan ekonomi siapa?
Ekonomi petani sudah lama ambruk. Di Lombok petani padi hanya ”laba nyawa”. Pupuk langka dan kalaupun ada tak terbeli, benih harus membeli, tanah makin sempit, air sulit, hutan hancur, sumber daya alam habis dikeruk, dan lingkungan rusak parah. Kalau kemudian mereka menjual lahannya, lalu menjadi buruh di negeri orang, yang harus diawasi adalah alasan mengapa hal itu terpaksa dilakukan.
Inilah rentetan kejadian berikutnya akibat kehancuran kehidupan petani di kampung, anak-anak kurang gizi, kelaparan, dan mati karena penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa disembuhkan, tetapi sistem kesehatan komunitas sudah hancur dan biaya pengobatan tak terjangkau. Anak perempuan putus sekolah akibat biaya sekolah sangat mahal lalu kawin muda. Istri harus menyelamatkan ekonomi keluarga dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang, yang tak jarang pulang sebagai mayat, cacat berat, atau (paling ringan) dikemplang gajinya oleh majikan. Seluruh penderitaan ini dilarutkan menjadi soal produktivitas dalam berbagai kebijakan tentang pangan.
Lalu, jalan keluarnya? Jawabannya terkait dengan seberapa besar investasi publik untuk mengembalikan kehidupan pertanian yang berpusat di kampung atau desa dan kehendak (pemerintah) untuk melakukannya. Kalau jawabannya tak ada dana, pertanyaannya, ke mana devisa 5 miliar dollar per tahun dari tenaga kerja Indonesia yang 75 persennya perempuan?
Memulihkan ekonomi petani di kampung akan memberikan jawaban pada kedaulatan pangan dari akarnya dan pemeliharaan lingkungan karena kepemilikan rezim makanan ada pada pelaku atau subyek primernya. Kalau mau reforma agraria, itu tidak dilakukan dengan membagi-bagi tanah dan memberi sertifikat karena selalu ada godaan untuk menjualnya.
Tetapi, semua ini hanya mudah dituliskan. Di luar sana, tanah adalah komoditas ekonomi dan politik. Sejarah kelam negeri ini berhulu pada soal tanah. Nasib petani terus menjadi taruhan dan perlawanan untuk merebut kembali hidupnya selalu mendapat cap hitam: subversif!

Ke Mana Arah Kebijakan Pangan Kita?

KILAS BALIK
Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, Jumat, 11 Juli 2008.

"…krisis pangan seharusnya mengingatkan kita pada apa yang paling fundamental: sebelum kita bercita-cita apa pun, perut harus kenyang. Mana mungkin kita pintar bila perut kita lapar? Mana mungkin kita bersatu bila perut kita keroncongan?… Manusia memang tidak hanya hidup dari perut. Ya, kritik itu tepat buat mereka yang sudah kenyang dan tak berkekurangan. Tapi, kritik itu sama sekali tak berlaku bagi mereka yang lapar.…"
("Tanda-tanda Zaman", Basis edisi Mei-Juni 2008)

Persoalan pangan adalah persoalan hidup mati bangsa Indonesia. Itulah pesan sekaligus peringatan yang disampaikan oleh Presiden RI pertama, Soekarno, ketika meletakkan batu pertama pembangunan Kampus Institut Pertanian Bogor pada 27 April 1952.
Meski bangsa ini ketika itu baru seumur jagung, baru berusia tujuh tahun, tapi kesadaran akan pentingnya meletakkan dasar pembangunan di bidang pertanian sudah sejak awal dimunculkan. Masih di tengah suasana pergolakan, Soekarno sebagai pemimpin bangsa yang baru merdeka melihat bahwa ketersediaan pangan bagi rakyat adalah sebuah keniscayaan.
Sebagai langkah awal adalah dengan terlebih dahulu mendidik orang-orang yang akan membebaskan rakyat dari persoalan pangan. Pembangunan Kampus IPB di Baranangsiang, Bogor, adalah salah satu jawabannya.
Pada saat hampir bersamaan, pemerintah membangun Waduk Jatiluhur, membenahi infrastruktur jalan dan jembatan, serta merancang pendirian pabrik-pabrik pupuk. Produksi benih unggul juga diperbanyak dengan menambah balai benih dan kebun bibit. Pemerintahan awal republik ini juga tidak lupa meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pertanian dengan mendirikan Balai Pendidikan Masyarakat Desa.
Menurut seorang panelis dalam diskusi terbatas tentang kedaulatan pangan yang diselenggarakan oleh harian Kompas, akhir Juni lalu, apa yang digagas Bung Karno tersebut menunjukkan adanya visi yang jelas terkait upaya penanggulangan masalah pangan. Ini juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kerangka pemikiran pemimpin nasional. Sebuah obsesi untuk menciptakan kemandirian penyediaan pangan bagi rakyat.
”Kalau kita baca literatur-literatur yang ada, keinginan pemerintah pada masa lalu untuk mengembangkan pangan atas usaha sendiri itu luar biasa. Institusi-institusi penelitian yang ada di Bogor, sebagian juga ada di Jawa Timur, itu sebagian berdiri pada saat Bung Karno masih ada dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan pemerintah kita terdahulu,” ujarnya.
Pertama-tama, tentu saja, adalah niat. Dan, niat itu menjadi lapis dasar dari visi dan tekad yang kemudian diterjemahkan dalam konsep kebijakan nasional. Namun, yang tak kalah penting adalah bagaimana semua rencana itu bisa berjalan di tingkat praksis. Bukan sekadar diwacanakan!
Terlepas dari sejumlah cacat cela yang mewarnai pemerintahan Orde Baru, dalam hal upaya penyediaan pangan harus diakui bahwa sejak awal Soeharto menaruh perhatian besar pada masalah ini. Bahkan, persoalan penyediaan pangan boleh dibilang menjadi kebijakan utamanya.
Pemerintah pada masa itu tak hanya merumuskan dengan baik langkah dan strategi untuk menciptakan ketahanan pangan, tapi juga melaksanakannya secara konsisten. Bahwa muncul di sana-sini pemaksaaan-pemaksaan terhadap petani, semisal dalam hal keharusan menanam padi dan penggunaan benih unggul, hal itu adalah sisi lain yang harus diakui memang terjadi.
Akan tetapi, kata sang panelis, ekses semacam itu adalah soal lain. Yang ingin ia tekankan terutama menyangkut adanya semacam keinginan kuat dari pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan yang sudah mereka susun.
Apalagi, keberhasilan memproduksi padi juga diikuti kebijakan-kebijakan lain. Sadar bahwa kalau rakyat hanya makan nasi tidak cukup asupan gizinya, ditempuh juga kebijakan untuk meningkatkan produksi susu, daging, ayam, dan lain sebagainya. Program bimbingan massal (bimas) yang diikuti pola intensifikasi massal (inmas) menjadi begitu populer pada awal pemerintahan Orde Baru.
Krisis pangan memang beberapa kali sempat terjadi, seperti pada 1972-1973, tetapi selalu ada jalan keluar. Muncul apa yang kemudian dikenal sebagai koperasi unit desa (KUD), penguatan Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai penyangga ketersediaan pangan, hingga diterapkannya langkah-langkah khusus dengan pengendalian terpusat dan langsung oleh presiden melalui lembaga Sesdalobang.
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia untuk pertama kali meraih prestasi sebagai negara yang mampu berswasembada beras. Bahkan, program bimas pernah diadopsi Organisasi Pangan Dunia (FAO) menjadi salah satu percontohan untuk berbagai kawasan yang kekurangan pangan. Petani dan penyuluh pertanian Indonesia pun pernah diminta melatih petani dan mengembangkan pusat pelatihan pertanian di Afrika. Juga di Fiji, Vanuatu, dan kepulauan sekitarnya.
Tentu saja ini bukan sekadar kisah romantisme masa lalu. Runtuhnya rezim Orde Baru dengan Soeharto pilar utamanya, kemudian lahir apa yang dikenal sebagai era Reformasi, ternyata ikut meruntuhkan fondasi dasar ketahanan pangan—terutama beras—bangsa ini. Meski pemerintah masa lampau belum berhasil mengangkat kesejahteraan petani hingga ”berdaulat” atas diri dan usahanya sendiri, setidaknya dalam skala nasional persoalan ketersediaan pangan, khususnya beras, tidak menimbulkan gejolak seperti sekarang.
Pemerintah pada tahun 1999 bahkan harus mengimpor beras hingga 5 juta ton. Sementara itu, pada tahun berikut, tercatat sedikitnya empat juga beras impor membanjiri pasar dalam negeri. Pada saat bersamaan, impor bahan pangan lain, seperti jagung, gula, kedelai, dan gandum, juga meningkat.
Upaya perbaikan sistem produksi dan distribusi memang sempat memberi harapan. Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan yang beranggotakan menteri-menteri terkait ternyata cukup efektif. Produksi pangan, khususnya beras, bisa ditingkatkan sehingga pada tahun 2003/2004 pemerintah menerapkan larangan impor beras.
Akan tetapi, sejak akhir 2005—seiring pergantian tampuk pemerintahan di negeri ini—keran impor beras dibuka kembali hingga hari ini. Harga beras pun jatuh dan petani sebagai produsen terkena imbasnya.
”Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, keberhasilan implementasi kebijakan pangan dan pertanian pada masa lalu merupakan satu contoh perhatian pemerintah dalam pembangunan pertanian. Barangkali sudah waktunya kita mempelajari mengapa dulu kita bisa, sekarang dihadang berbagai kesulitan dan persoalan- persoalan baru,” tutur sang panelis.
Hanya, diingatkan bahwa kompleksitas permasalahan hari ini dan ke depan tentu berbeda tantangannya dibandingkan dengan masa lampau. Kenyataan ini tentu menuntut konsep dan strategi tersendiri, sesuai skala persoalan dan tantangan baru yang dihadapi. Jumlah penduduk yang terus membengkak, ancaman perubahan iklim yang ikut memengaruhi produktivitas pertanian, alih-fungsi lahan-lahan pertanian yang cenderung kian meningkat dalam 10 tahun terakhir, dan aspek-aspek nonteknis harus menjadi pertimbangan.
Menyikapi berbagai persoalan itu, panelis lain mengingatkan, ”Barangkali masih perlu untuk dilihat sebetulnya mau ke mana arah pertanian kita. Mau bergulat saja dengan isu pangan atau pada saat yang sama juga memberi perhatian yang besar kepada isu pertanian lain, yang sebetulnya potensial untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.”
Sisi lain yang juga disorot para panelis ke depan adalah perlunya upaya mengembangkan sektor pertanian dilihat dan dikaitkan dengan penataan sumber daya lingkungan hidup. Artinya, pembangunan pertanian tak seharusnya dilihat dari aspek ekonomi semata. Konflik perebutan air antara petani dan investor yang memproduksi air minum, pendangkalan sejumlah waduk untuk irigasi, serta penataan daerah tangkapan air di hulu-hulu sungai mesti dijadikan satu paket dalam kebijakan pertanian.
Tak bisa dimungkiri, masalah pangan memang membutuhkan perhatian ekstra dari pemerintah. Kalau kita masih ingin survive di bidang pangan, kata seorang panelis, pertama-tama yang harus dilakukan adalah dengan merumuskan kembali kebijakan yang kuat di bidang pembangunan pangan. Kebijakan pangan yang kuat itu harus lahir dari pemimpin yang punya visi jauh ke depan, mengingat kebijakan pangan tak menyangkut soal pangan semata. Ia memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor-sektor lain.
”Persoalan pangan juga ada hubungan langsung dengan kemiskinan. Kalau persoalan kemiskinan tidak diatasi, persoalan pangan pun akan menjadi bagian yang tak pernah terselesaikan,” kata seorang panelis.
Alhasil, sebagaimana diingat budayawan Sindhunata dalam kolom ”Tanda-tanda Zaman” di majalah dwibulanan Basis, sebagaimana dikutip pada awal tulisan ini, krisis pangan yang terjadi sekarang seharusnya mengingatkan kita pada apa yang fundamental. Katanya, akhir-akhir ini kita banyak diributkan oleh tetek-bengek persoalan yang mencabik-cabik kita sebagai bangsa. Tapi, kita seperti lupa pada yang fundamental, yakni (tuntutan) perut.
Ingatlah, tulis Sindhunata, bahwa di dalam perut itu ada kelaparan yang mudah marah. Jika amarah dari perut itu meledak, negara ini sungguh berada dalam keadaan yang amat bahaya…. (ken)

Jangan sampai Kebablasan

KORPORASI PERTANIAN
Oleh Khairina
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 11 Juli 2008

The business of business is business (Milton Friedman, penerima Nobel Ekonomi tahun 1976)
Ini memang era corporate social responsibility (CSR) alias tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar berlomba-lomba melakukan ”sesuatu” untuk masyarakat sekitarnya. Berbagai bidang dirambah, mulai dari sektor lingkungan, pendidikan, hingga pertanian. Diawali oleh CSR, beberapa perusahaan akhirnya malah menemukan ladang bisnis baru.
Seorang pengusaha terkenal yang menjadi panelis dalam diskusi kedaulatan pangan di Kompas, akhir Juni lalu, mengaku terjun ke bisnis pertanian diawali oleh program CSR bidang penghijauan. Awalnya, ia hanya membuka pembibitan di lahan menganggur seluas 4-5 hektar, yang tadinya akan dibangun pabrik semen. Bekerja sama dengan seorang mantan pejabat yang peduli lingkungan, ia juga terlibat aktif dalam produksi dan pemasaran beras organik.
Kini sang pengusaha tertarik dengan energi alternatif atau biodiesel. Ia tertarik untuk mengembangkan pertanian pangan penghasil etanol, seperti jagung, singkong, dan tebu. Tidak tanggung-tanggung, panelis itu mengaku sampai melakukan studi banding ke Brasil.
”Di Brasil itu kalau ditonjolkan pertanian, ya benar-benar pertanian. Dagingnya sekarang nomor satu di dunia. Itu karena didukung oleh produksi jagung yang nomor satu. Gula juga mereka nomor satu, sekarang kedelai juga nomor satu, menyusul Amerika Serikat,” ujarnya gemas.
Ia lebih gemas lagi begitu mendengar anjuran seorang menteri di negeri ini agar dia berinvestasi di Brasil. Alasan sang menteri, tanah di Brasil sudah jelas subur dan negara Amerika Latin itu lebih siap menerima investor dalam bidang pertanian.
”Masak menteri malah ngomong seperti itu. Akhirnya saya buat perbandingan antara Merauke dan Brasil. Saya juga mengundang Bupati Merauke untuk menjelaskan apa permasalahan yang ada di sana,” katanya.
Di Merauke, ungkap sang panelis, ternyata banyak masalah, mulai dari infrastruktur, irigasi, sampai masalah hama dan malaria yang tak kunjung usai. Namun, daerah itu terbuka untuk ekstensifikasi. Ia akhirnya mengenalkan padi dengan sistem intensifikasi padi di Merauke. Ia bahkan menemukan satu transmigran asal Jawa yang cukup berhasil memiliki 330 hektar lahan pertanian di Merauke.
Di luar Jawa, kata panelis itu, memang harus dikembangkan pola korporasi pertanian. Namun, harus dipikirkan bagaimana agar komoditas pangan bertambah, kesempatan kerja terbuka, dan keadilan untuk seluruh masyarakat. Sebagai pebisnis, ia mengaku melihat peluang sangat besar di bidang pertanian, apalagi dengan harga pangan dunia yang meroket tinggi.
”Bahkan, perusahaan Jepang pun tertarik untuk berinvestasi di Merauke setelah mengetahui bahwa daerah ini memiliki potensi,” ujarnya.
Korporasi pertanian memang sudah merasuk sedemikian dalam. Beberapa memang menguntungkan petani, kendati pada banyak kasus, petani justru menjadi pihak yang paling terpinggirkan.
V Indra Cahyanta, Ketua Kelompok Tani Ngudi Mulyo, Sabrang, Sumber Mulyo, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta, mengaku sangat dibantu oleh sebuah perusahaan. Ratusan petani di daerah itu, yang tadinya hanya bertanam padi dan palawija, dibina untuk menanam kedelai hitam. Mereka diberi bibit unggul gratis, diberikan pelatihan agar hasil panennya sesuai dengan standar perusahaan, dan hasilnya lalu ditampung oleh perusahaan itu.
Ia mengaku, sejak dibina oleh perusahaan itu—yang bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM)—pendapatan petani meningkat. ”Hasil panen kami tertampung. Kami juga menentukan harga jual karena di awal kerja sama kami menandatangani perjanjian dengan perusahaan terkait harga jual,” katanya.
Kendati pun demikian, ia mengaku, pendapatannya sebagai petani kecil—yang memiliki lahan hanya 1.000 meter—sebenarnya tidak mencukupi. Sebagai gambaran, apabila dirata-ratakan per bulan, sebenarnya penghasilan bersih petani hanya Rp 50.000 rupiah.
”Itu pun hasilnya sudah lumayan dibandingkan dengan sebelum menjadi petani kedelai hitam,” tuturnya.
Dengan penghasilan sangat minim, Indra terpaksa mengandalkan sumber penghasilan lain. Di luar kegiatannya sebagai petani, Indra adalah sopir perjalanan. ”Petani yang lain juga rata-rata punya pekerjaan lain di luar bertani,” ujarnya.

Belum sejahtera
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih, sampai sekarang belum ada satu pun kasus dengan masuknya korporasi, petani menjadi sejahtera. Ia mencontohkan masuknya perusahaan agrobisnis dalam perkebunan sawit. Petani kecil dan masyarakat adat terpinggirkan karena tanahnya diambil alih oleh perusahaan.
Konflik tanah banyak terjadi di perkebunan sawit. Sementara itu, beberapa waktu yang lalu rakyat kesulitan membeli minyak goreng karena harganya meningkat. Perusahaan semakin senang dengan peningkatan harga karena pendapatan meningkat, sedangkan rakyat yang kelaparan.
”Ini sebenarnya sudah cerita lama dalam sejarah pertanian akibat dari pola inti plasma (nucleus-smallholder) sebagai salah satu bentuk agrobisnis melalui contract farming,” ujar Henry.
Dengan masuknya korporasi, kata Henry, peningkatan produksi memang terjadi, tetapi jutaan kaum tani dirugikan. Jadi, surplus ekonomi pertanian dan pangan yang dulunya meskipun kecil dapat dinikmati oleh petani, kini setelah masuknya perusahaan ke sektor pertanian menjadi milik perusahaan.
”Lihatlah sekarang makin sedikit petani kita yang memiliki kemampuan memproduksi pupuk, benih, dan juga ramuan tradisional pengendali hama. Semuanya harus dibeli ke perusahaan. Jika kemudian perusahaan tidak saja masuk input produksi, bahkan melakukan sendiri kegiatan produksi pertanian (on farm), makin habislah ekonomi yang bisa dinikmati rakyat,” ujarnya.
Guru besar Teknologi Pertanian UGM Mohammad Maksum berpendapat, investasi apa pun dalam bidang pertanian sebaiknya mempertimbangkan baik buruknya bagi petani. Selama ini, kata Maksum, petani lebih sering menjadi golongan yang terpinggirkan.
Kedaulatan atas tanah petani sangat tidak terjamin, demikian juga dengan kedaulatan akan hak ekonomi dan hak sosial. Tanah pertanian banyak digusur dengan alasan pembangunan. Petani tidak bebas menentukan hak ekonomi mereka, misalnya pupuk bersubsidi yang dikorupsi dan dalam beberapa kasus hak mereka untuk menerima beras miskin pun, misalnya, dirampas pula.
”Jangan sampai petani yang silent majority ini suatu saat berontak karena hak-hak mereka untuk berdaulat secara ekonomi kita kebiri,” ujar Maksum, yang juga peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM.

[Kembali]

Kamis, 07 Agustus 2008

Krisis Pangan dan Inflasi

Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, Jumat, 8 Agustus 2008, halaman 46.

Dunia saat ini tengah mengalami demam akibat gelombang pasang inflasi. Lonjakan harga minyak mentah, komoditas pangan, dan komoditas lain, membuat inflasi di 50 dari 110 negara, menurut data Goldman Sachs yang dikutip Newsweek, sudah di atas dua digit. di Beberapa negara bahkan sudah terjadi hiperinflasi.
Di Vietnam inflasi tahun ini diprediksikan 26 persen. Di Zimbabwe inflasi sudah mencapai 164.900 persen, Venezuela 30 persen, Kenya 27 persen, Pakistan 19,3 persen, dan India 11 persen. Di Indonesia inflasi yang tahun lalu hanya 6,59 persen, tahun ini diperkirakan 11,5-12,5 persen, bahkan bisa lebih tinggi.
Sepertiga negara berkembang sekarang ini, menurut Bank Dunia, mencatat inflasi di atas 10 persen dan di 21 negara inflasi meningkat sudah lebih dari 5 persen. Dari catatan Bank Dunia, ini adalah yang pertama kalinya sejak tahun 1973, lonjakan harga minyak dan komoditas pangan terjadi secara berbarengan.
Kombinasi kenaikan harga dua komoditas ini sangat memukul, terutama untuk negara-negara miskin, dengan dampak ke perekonomian nasional di lebih dari 15 negara sedang berkembang mencapai 10 persen lebih dari produk domestik bruto. Sementara itu, ruang manuver secara makroekonomi untuk bisa merespons kondisi tersebut juga sangat terbatas.
Dampak paling riil dari lonjakan harga tersebut adalah meningkatnya tekanan inflasi, membengkaknya defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintah yang mengakibatkan menyusutnya pula anggaran untuk subsidi kelompok miskin. Hal itu selanjutnya kian membahayakan kelompok miskin, kelompok yang paling rentan terhadap lonjakan harga.
Bagi perekonomian global, itu juga mengancam pertumbuhan dan membuat berbagai kemajuan yang telah dicapai, terutama dalam pemberantasan kemiskinan di banyak negara miskin, juga terancam lenyap dalam sesaat. Jumlah penduduk miskin diperkirakan meningkat dari 73 juta jiwa menjadi 105 juta jiwa.
Sejak Januari 2006 harga terigu tercatat sudah melonjak lebih dari dua kali lipat, dengan 60 persen lebih kenaikannya terjadi sejak Januari 2008. Untuk beras, bahkan harga sudah naik tiga kali lipat lebih hanya dalam kurun Januari-Mei 2008. Untuk jagung, kenaikan 125 persen dan kedelai 107 persen.
Sementara itu, harga minyak mentah naik dari hanya 20 dollar AS per barrel pada tahun 2001 menjadi di atas 140 dollar AS per barrel sekarang ini. Sejak Januari 2008 saja harga minyak sudah naik lebih dari dua kali lipat. Lonjakan harga komoditas pangan ini terjadi karena kombinasi berbagai faktor, baik itu struktural maupun nonstruktural.
Faktor-faktor itu, yakni naiknya harga energi dan pupuk, depresiasi nilai tukar dollar AS, konversi dalam skala masif komoditas pangan ke bahan bakar nabati (biofuel), serta menyusutnya stok pangan (biji-bijian) global sebagai akibat dari perubahan kebijakan menyangkut buffer stock di AS dan Uni Eropa. Ini masih ditambah dengan kekeringan di Australia dan meningkatnya permintaan dari berbagai negara.
Di luar semua faktor tersebut, masih ada peranan spekulan, yakni para hedge funds dan investor komoditas yang juga ikut memicu kenaikan harga.
Semua faktor tadi masih ditambah dengan kebijakan beberapa negara eksportir dan importir utama pangan yang sifatnya kontraproduktif. Termasuk larangan ekspor beras oleh India dan China atau larangan impor gandum oleh Argentina, Kazakhstan, dan Rusia. Larangan ekspor dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri ini segera diikuti oleh negara-negara produsen lain, seperti Vietnam dan Mesir, untuk beras sehingga membuat pasokan di pasar dunia menipis dan harga kian melonjak.
Begitu juga aksi importir beras besar, seperti Filipina yang mengadakan tender besar-besaran pengadaan beras impor di tengah kepanikan dunia, juga menjadi pemicu.

Bertanggung jawab
Menurut Bank Dunia dan PBB, AS dan Uni Eropa adalah pihak yang paling pantas disalahkan atas lonjakan harga pangan yang menempatkan lebih dari 100 juta penduduk dunia dalam ancaman kelaparan sekarang ini.
Laporan Bank Dunia yang sempat bocor menyebutkan, 75 persen kenaikan harga komoditas pangan akhir-akhir ini adalah akibat konversi komoditas pangan ke bahan bakar nabati. Sementara itu, meningkatnya permintaan negara-negara berkembang, seperti India dan China yang sering dituding AS sebagai pemicu kenaikan harga pangan, justru tidak banyak berpengaruh pada harga.
Kebijakan Pemerintahan AS dan Uni Eropa yang merangsang produksi biofuel, termasuk lewat pemberian subsidi, membatasi impor, dan mewajibkan penggunaan biofuel di dalam negeri, memicu konversi secara besar-besaran penggunaan komoditas pangan untuk bahan bakar nabati. Di AS sendiri, 40 persen produksi jagung untuk etanol.
Bank Dunia, USDA, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), serta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memprediksikan kecenderungan naiknya harga pangan masih akan berlangsung hingga 2009 sebelum akhirnya mulai menurun, kendati tak akan pernah bisa kembali ke level sebelum 2007.
Jean Ziegler, Pelapor Khusus PBB untuk hak atas pangan, menyebut, konversi ke biofuel dengan mengorbankan akses pangan bagi jutaan penduduk miskin sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).

(sri hartati samhadi)

[Kembali]

Dihancurkan oleh Rezim Perdagangan Global

PERTANIAN NEGARA BERKEMBANG
Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, Jumat, 8 Agustus 2008, halaman 45.

Banyak pengamat internasional berpandangan, krisis pangan global dewasa ini adalah malapetaka buatan manusia. Krisis terjadi karena sektor pertanian di negara-negara berkembang dihancurkan lewat rezim perdagangan global demi kepentingan segelintir pemain besar dari negara maju. Tujuannya, untuk menciptakan ketergantungan pada impor pangan dari negara maju.

Bank Dunia dalam laporan World Development Report berjudul Agriculture for Development mengungkapkan, sektor pertanian dan pedesaan menderita karena selama 20 tahun terakhir terabaikan dan nyaris tak ada dana mengalir untuk inovasi budidaya dan teknologi (underinvestment).
Alokasi anggaran pemerintah untuk sektor pertanian (termasuk untuk subsidi serta riset dan pengembangan) terus menyusut. Akibatnya, produksi terus stagnan.
Di negara-negara sub-Sahara Afrika, yang pertumbuhan ekonominya nyaris sepenuhnya mengandalkan pada sektor pertanian, rata-rata alokasi anggaran pemerintah untuk sektor pertanian hanya 4 persen dari total anggaran belanja pemerintah. Itu pun, sektor pertanian masih dipajaki tinggi.
Pada saat bersamaan, alokasi bantuan luar negeri untuk pertanian juga terus menyusut, hanya 4 persen dari total Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) pada tahun 2004. Padahal, 75 persen penduduk miskin negara berkembang hidup dari sektor ini.
Karena itu, menggenjot investasi secara besar-besaran di sektor pertanian menjadi kata kunci untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di negara-negara miskin, sekaligus untuk mencapai target pengurangan angka kelaparan dan kemiskinan hingga separuhnya pada tahun 2015 sebagaimana ditetapkan dalam target Sasaran Pembangunan Milenium (MDG).
Di tengah absennya kepemimpinan global dalam mengatasi krisis pangan sekarang ini, solusi kembali ke pertanian mungkin adalah solusi yang paling riil untuk dilakukan. Ironisnya, ini disampaikan oleh lembaga yang selama ini dituding ikut menyemai krisis pangan global yang kita hadapi sekarang ini.
Apa yang terjadi di Afrika dan sejumlah negara Asia pada kurun 1970-an hingga 1990-an menjadi bukti bahwa lembaga multilateral, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang selama ini dituding lebih banyak mewakili kepentingan negara-negara maju, telah menjadi bagian kekuatan globalisasi yang justru menghancurkan sistem ketahanan pangan negara-negara berkembang.
Ketika itu, atas nama Program Penyesuaian Struktural (SAP), IMF dan juga Bank Dunia memaksa negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) memangkas drastis anggaran pemerintah untuk berbagai sektor, khususnya untuk program pertanian, sebagai prasyarat untuk bisa terus mendapatkan kucuran utang dari lembaga tersebut.
Termasuk di sini, dengan menghapuskan atau memangkas berbagai program subsidi bagi petani dan memaksakan pemrioritasan budidaya tanaman komersial yang bisa diekspor agar bisa mendatangkan devisa (yang kemudian dipakai untuk membayar kembali cicilan dan pokok utang pada kreditor, termasuk Bank Dunia).
Haiti adalah contoh nyata. Di negara ini beras sudah merupakan tanaman pangan tradisional sejak berabad-abad lalu. Hingga 20 tahun lalu, petani negara ini masih mampu memproduksi sekitar 170.000 ton beras per tahun, cukup untuk menutup 95 persen konsumsi domestik.
Kendati tak mendapat subsidi dari pemerintah, akses mereka ke pasar domestik terproteksi oleh adanya tarif impor yang menghambat masuknya beras impor.
Kondisi berubah tahun 1995 ketika kesulitan ekonomi memaksa pemerintah masuk dalam perangkap IMF. Untuk mendapatkan kucuran utang dari IMF, IMF mensyaratkan Haiti memangkas tarif impor beras dari 35 persen menjadi 3 persen. Hasilnya bisa diterka, beras dari Amerika Serikat segera membanjiri pasar lokal pada harga separuh dari tingkat harga beras produksi lokal.
Ribuan petani setempat jadi kehilangan lahan dan mata pencarian karena tak bisa bersaing dengan beras AS. Dewasa ini, 75 persen beras yang dikonsumsi Haiti adalah beras impor dari AS. Beras AS mampu menggusur beras lokal bukan karena rasanya lebih enak atau karena petani AS mampu memproduksi beras lebih efisien, melainkan karena petani AS disubsidi habis-habisan oleh pemerintahnya.
Tahun 2003, subsidi yang dikucurkan Pemerintah AS kepada petaninya mencapai 1,7 miliar dollar AS atau rata-rata 232 dollar AS per hektar padi yang ditanam. Subsidi ini masuk ke kantong segelintir tuan tanah yang menguasai lahan sangat luas atau perusahaan agrobisnis, dan memungkinkan mereka menjual beras pada harga 30-50 persen di bawah biaya produksi riil.
Di 30 negara terkaya di dunia, subsidi menyumbang 30 persen pendapatan petani, dengan total nilai subsidi yang disalurkan mencapai 280 miliar dollar AS tahun lalu.
Di balik kebijakan ini, ada tujuan lain negara-negara maju, yakni mengurangi kompetisi dan mencegah gejolak pasar, seperti anjloknya harga dunia yang bisa mengganggu kepentingan pemain-pemain besar untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari pasar (Alex Lantier: The World Food Crisis and The Capitalist Market).
Politik imperialisme itu mengakibatkan banyak negara miskin di Afrika dan Asia tak lagi swasembada pangan dan menjadi rentan terhadap gejolak harga pangan dunia.

Paksakan GMO
Modus lainnya yang dipakai adalah melalui kedok ”bantuan pangan”. Politik bantuan pangan yang diterapkan AS selama ini, misalnya, ternyata lebih dimaksudkan untuk melayani kepentingan raksasa agrobisnis dan juga perusahaan-perusahaan perkapalan AS, yakni dalam rangka memperluas pasar mereka.
Berbeda dengan negara-negara lain, bantuan pangan AS mensyaratkan bantuan yang diberikan diproduksi, diproses, dan dikapalkan sendiri oleh perusahaan-perusahaan AS. Tentu saja ini sangat mahal, membebani negara penerima dan hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan AS sendiri.
Demi kepentingan bisnis segelintir konglomerat bioteknologi, benih hasil rekayasa genetik (genetically modified organism/GMO) juga dipaksakan ke petani negara-negara berkembang dalam konteks ”program bantuan pangan”.
Dalam kasus di Etiopia, benih GMO disalurkan sebagai bantuan bagi petani miskin yang mengalami kekeringan parah. Setelah ditanam dan panen, baru petani menyadari bahwa benih hasil panenannya ternyata tidak boleh ditanam lagi, tanpa membayar royalti kepada produsen benih.
Bukan itu saja, benih tersebut ternyata juga hanya bisa tumbuh jika memakai pupuk, insektisida, dan herbisida yang juga diproduksi oleh produsen yang sama. Di sini, perekonomian petani dijebak masuk dalam perangkap ketergantungan di tangan konglomerat agrobisnis negara maju, seperti Monsanto, Syngenta, Aventis, DuPont, Dow Chemical, Cargill, dan ADM.
Siklus pertanian tradisional yang memungkinkan petani melakukan reproduksi benih di tingkat petani sendiri—yakni dengan menyisihkan benih organik dari hasil panenannya untuk ditanam pada musim tanam berikutnya— menjadi terputus. Akibatnya, tragedi kelaparan terus berulang.

Gagalnya kapitalisme
Kalangan pengamat mencatat semakin terglobalisasi dan terkonsentarsinya produksi pangan global sejak 1970-an. Dewasa ini, perdagangan komoditas pangan pokok didominasi hanya oleh segelintir pemain besar.
Sekitar 80 persen pasar ekspor gandum dikuasai hanya oleh enam pemain. Hal serupa terjadi pada 85 persen pasar ekspor beras. Untuk jagung, 70 persen pasar ekspor bahkan hanya dikendalikan oleh tiga pemain. Ini membuat nasib negara-negara termiskin yang harus mengimpor pangan untuk bisa bertahan hidup menjadi sepenuhnya ada di tangan segelintir korporasi.
Food & Water Watch mencatat, lahan pertanian tanaman pangan di Afrika sejak WTO efektif terbentuk terus menyusut. Sebaliknya, luasan lahan untuk tanaman komersial, seperti kopi, kakao, tebu, kapas, tembakau, dan teh, terus meningkat pesat.
Presiden Venezuela menggambarkan krisis pangan dewasa ini sebagai bukti nyata kegagalan model kapitalisme global. Mantan Presiden Kuba Fidel Castro Ruiz bahkan menyebut program biofuel yang diprakarsai AS dan Uni Eropa sebagai genosida.
Mantan analis pemerintahan federal AS, Richard Cook, dalam tulisan Crisis in Food Prices Threatens Worldwide Starvation: Is It Genocide sependapat dengan Bank Dunia, kini saatnya kembali ke sawah. Dalam kaitan ini, ia menekankan pentingnya dukungan kebijakan penuh dari pemerintah, mulai dari kredit lunak, jaminan harga, pelayanan yang terjangkau, kebijakan pajak yang mendukung dan hingga yang ekstrem: gerakan nasional untuk mengonsumsi produksi dalam negeri.
”Produksi pangan tidak boleh lagi diserahkan ke tangan perusahaan agrobisnis dan kapitalisme finansial internasional,” ujarnya.

(sri hartati samhadi)

[Kembali]