Kamis, 31 Juli 2008

2.894 Kursi Jurusan Pertanian Kosong

SNMPTN
Dikutip dari Harian KOMPAS, Jumat, 1 Agustus 2008.

Surabaya, Kompas - Seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri menyisakan 2.894 kursi kosong pada program studi Pertanian dan Peternakan di 47 perguruan tinggi negeri. Secara keseluruhan, SNMPTN menyisakan 9.019 kursi kosong di 47 PTN.
Koordinator penilai SNMPTN, Priyo Suprobo, mengatakan, fakta itu menyedihkan bila mengingat Indonesia selalu disebut negara agraris. ”Tentu mengkhawatirkan bila mengingat Indonesia pernah dikenal sebagai negara berswasembada pangan,” ujarnya saat mengumumkan analisis hasil SNMPTN 2008 di Surabaya, Kamis (31/7).
Kekosongan itu merata di hampir semua perguruan tinggi yang membuka program studi Pertanian. Bahkan, terjadi kekosongan kursi hingga 50 persen dari daya tampung program studi.
Hal itu terjadi antara lain pada program studi Agribisnis di Universitas Trunojoyo, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Program studi dengan daya tampung 85 mahasiswa baru itu hanya diminati 10 orang.
Demikian pula pada program studi Teknologi Industri Pertanian yang berdaya tampung 85 mahasiswa baru pada universitas yang sama. Namun, hanya 22 orang yang mendaftar dan lima di antaranya tidak lulus sehingga masih tersisa 68 kursi untuk mahasiswa baru.
Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yonny Koesmaryono mengatakan, menurunnya minat generasi muda memilih bidang pertanian di jenjang pendidikan tinggi harus dipandang sebagai persoalan yang memprihatinkan bangsa. Apalagi, persoalan krisis pangan menjadi perhatian serius secara global.
”Untuk IPB, memang tidak mengalami kekurangan mahasiswa. Tetapi, di perguruan tinggi berbasis pertanian lainnya, kekosongan kursi untuk pertanian dan peternakan memang cukup serius,” ujar Yonny.

Terserah rektor
Priyo Suprobo mengatakan, kekosongan memang tidak hanya terjadi pada program studi terkait dengan pertanian. Beberapa program studi lain juga masih menyisakan kursi kosong di 47 PTN di Indonesia. ”Total masih tersisa 9.019 kursi dari kuota SNMPTN. Dari 57 PTN penyelenggara SNMPTN, hanya 10 PTN yang kuotanya penuh,” ujar Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu. Suprobo mengatakan, panitia SNMPTN tak berwenang mengisi kursi yang kosong itu. Pengisian dikembalikan kepada kebijakan masing-masing PTN. ”Pengisian itu hak rektor masing-masing PTN,” tuturnya.
Pengumuman SNMPTN bisa dilihat di situs web www.snmptn.ac.id dan situs web Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB), ITS Surabaya, dan Universitas Diponegoro Semarang pada Kamis ini mulai pukul 18.00. Selain itu, pengumuman dapat dilihat di papan pengumuman di 57 PTN dan di 38 panitia lokal.

Ketat
Sementara itu, anggota Tim Statistika ITS, Lucia Aridinanti, mengatakan, keterbatasan daya tampung membuat persaingan masuk ke beberapa PTN semakin ketat. Di UGM yang hanya menyediakan 348 kursi pada SNMPTN, misalnya, tingkat keketatannya 1 : 25 atau 4,07 persen. Artinya, satu peserta akan berhadapan dengan 25 peserta lain yang memilih jurusan yang sama. ”Semakin ketat nilai persaingan suatu PTN, boleh jadi kualitas mahasiswa barunya semakin baik,” ujarnya.
Suprobo mengatakan, 5.704 peserta SNMPTN tidak lulus karena persoalan teknis. Di antara mereka, 11 orang tertangkap curang di lokasi. Enam orang memberikan identitas ganda, dan 5.627 lembar jawaban tidak sah.
Untuk keseluruhan, dipastikan 285.545 peserta tidak lulus. Sebanyak 57 PTN penyelenggara SNMPTN hanya menyediakan 92.509 kursi untuk tahun ini. Padahal, SNMPTN 2008 diikuti oleh 378.054 peserta. Tahun lalu disediakan 96.066 kursi untuk mahasiswa baru. Sementara pada 2006 disediakan 93.741 kursi.
Selain SNMPTN, ada pula ujian mahasiswa baru (UMB) untuk masuk PTN. Namun, UMB hanya diselenggarakan lima PTN. (RAZ/ELN)


Kembali

Senin, 28 Juli 2008

Kekeringan Bakal Meluas

PERTANIAN
Dikutip dari Harian KOMPAS, Selasa, 29 Juli 2008, halaman 01.

JAKARTA, KOMPAS - Ancaman kekeringan yang melanda sawah tahun ini akan terus meluas seiring datangnya kemarau, apalagi saat ini hanya sekitar 18 persen lahan pertanian sawah di Indonesia yang mendapat jaminan pasokan air waduk.
Menurut Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir, Senin (28/7) di Jakarta, sebagian besar lahan pertanian beririgasi mendapat pasokan air sungai yang bukan berasal dari waduk. Lahan sawah inilah yang berpotensi mengalami kekeringan meluas.
Apalagi, disparitas debit air sungai saat kemarau dan hujan sangat tajam. Hal ini semakin menegaskan, suplai air irigasi yang tidak berasal dari waduk menipis. Begitu pula sawah yang irigasinya dijamin waduk juga mengalami kekeringan akibat debit air waduk menyusut sebagai dampak pendangkalan dan minimnya suplai air.
Berdasarkan data Departemen Pertanian, luas lahan sawah sekitar 7,6 juta hektar (ha). Dari luasan itu sekitar 2,1 juta ha lahan beririgasi teknis, 1,03 juta ha beririgasi setengah teknis, 1,32 juta ha irigasi desa atau sederhana. Selebihnya sekitar 3,15 juta ha lahan pertanian tadah hujan, pasang surut, dan jenis lahan lain.
Menurut Winarno, dari sekitar 5 juta ha sawah beririgasi hanya ada 899.000 ha yang mendapat pasokan air waduk. Selebihnya mengandalkan air irigasi desa dan semiteknis yang bersumber dari nonwaduk.
Adapun menurut Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Deptan Ati Wasiati, luas lahan pertanian yang kekeringan pada periode Januari-28 Juli 2008 mencapai 182.995 ha. Dari luasan lahan yang dilanda kekeringan itu hanya 16.475 ha yang puso.
Winarno menjelaskan, dampak buruk bagi produksi pangan akibat kekeringan tidak hanya menimpa tanaman yang puso, tetapi juga padi yang tidak puso karena padi yang kekurangan air saat mulai pengisian bulir berakibat hampa.
Dengan rata-rata penurunan produktivitas 2 ton GKG per ha saja, luas lahan yang kekeringan 182.995 ha mengakibatkan potensi kehilangan produksi padi 365.990 ton GKG atau setara 237.000 ton beras. Ini setara dengan Rp 1,43 miliar, dengan catatan harga beras Rp 5.000 per kilogram.

Komitmen pemerintah
Di Palembang, saat mendampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Pertanian Anton Apriyantono memastikan, pemerintah telah mencanangkan program jangka panjang untuk menghadapi kekeringan setiap musim kemarau agar tidak mengganggu pertanian. Program itu dilaksanakan, antara lain, dengan menjaga hutan agar tidak gundul, memperbaiki daerah aliran sungai, serta memperbaiki irigasi dan waduk.
”Pemerintah selalu memperbaiki irigasi dan waduk. Tetapi, wilayah Indonesia terlalu luas sehingga perbaikan butuh biaya yang relatif besar,” ujar Anton.
Menurut Anton, bahkan anggaran PU pada untuk perbaikan irigasi pada tahun ini mencapai Rp 9 triliun. Jumlah itu jauh lebih besar dari seluruh anggaran Deptan saat ini.
Terkait hal di atas, Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Menko Perekonomian Bayu Krisnamurthi mengatakan, pemerintah memperhitungkan kebutuhan dana untuk membangun infrastruktur air yang bisa mengairi seluruh lahan pertanian di sepanjang pantai utara Jawa meningkat dari Rp 70 triliun menjadi Rp 100 triliun. Ini karena untuk mengembalikan Indonesia ke kondisi swasembada pangan, diperlukan investasi lebih besar pada sektor pengairan.
”Tahun lalu, penghitungan investasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pengairan lahan tanaman pangan mencapai Rp 70 triliun. Itu dibutuhkan untuk reinvestasi infrastruktur, irigasi, dan pengairan agar kembali ke posisi swasembada tahun 1985. Namun, perhitungan terakhir, angkanya meningkat menjadi Rp 90 triliun-Rp 100 triliun,” ujar Bayu. (MAS/WAD/BOY/OIN)

Kembali

Infrastruktur Pengairan Rusak

Sebanyak 50 Bendung dan 13 Bendungan di Pulau Jawa Kurang Berfungsi
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008, halaman 01.

Bandung, Kompas - Pemerintah tampaknya harus segera mengambil langkah strategis guna mengatasi dampak kekeringan, terlebih terkait dengan ketahanan pangan. Pasalnya, sebagian infrastruktur pengairan di Pulau Jawa rusak, mulai dari kategori rusak ringan, sedang, sampai berat.
Dari hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air serta Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum terungkap, sebanyak 50 bendung dari total 106 bendung dan 13 dari total 47 bendungan di Pulau Jawa mengalami kerusakan. Sebagian besar kerusakan disebabkan perawatan operasional bangunan yang kurang memadai dan tuanya usia bangunan.
Kepala Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Arie Moerwanto dalam Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Kamis (24/7) di Bandung, merinci, sebanyak 27 bendung rusak berat, 9 bendung rusak sedang, dan 14 lain rusak ringan. Adapun 13 bendungan yang rusak memerlukan penelitian dan analisis lebih lanjut untuk memastikan kemampuan operasional dan perlu tidaknya perbaikan.
Dalam istilah pengairan, ”bendung” adalah bangunan yang digunakan untuk meninggikan muka air sungai sampai pada ketinggian yang diperlukan agar air dapat dialirkan ke saluran irigasi dan petak tersier. Sedangkan ”bendungan” adalah bangunan yang dibuat untuk membendung aliran air.
Beberapa bendung di Pulau Jawa yang rusak berat, antara lain Bendung Cibanten, Cisangu, Katulampa, Rancasumur, dan Cikeusik. Sedangkan bendungan yang rusak dan harus segera diperbaiki antara lain Bendungan Cacaban, Lodan Wetan, Gembong, dan Notopuro.
Menurut Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jawa Barat Iding Srihadi, kekeringan belum menurunkan permukaan air waduk di Jabar secara drastis. ”Hanya satu waduk yang volumenya turun cukup banyak, dari 26 juta meter kubik menjadi 24 juta meter kubik, yaitu Waduk Darma di Kuningan. Sedangkan di Waduk Saguling, Cirata, Jatiluhur, volumenya masih normal,” kata Iding.
Sementara itu, di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, tinggi endapan di Waduk Dawuhan, Notopuro, dan Saradan mencapai sekitar dua meter dari dasar waduk. Akibatnya, daya tampung waduk berkurang. Imbasnya, pasokan air untuk 6.264 hektar sawah tidak bisa maksimal, sebagian sawah tidak terairi pada masa tanam ketiga.
Sejumlah langkah telah dilakukan untuk mengatasi pendangkalan, seperti pengerukan endapan di Waduk Dawuhan yang kini sedang dikerjakan. Namun, endapan yang dikeruk hanya 36.000 meter kubik, padahal endapan yang ada mencapai jutaan meter kubik. ”Untuk mengeruk semuanya dibutuhkan dana miliaran rupiah,” kata Sumarno, Pejabat Pembuat Komitmen Pengembangan dan Konservasi Sumber Daya Air Bengawan Solo. ”Untuk mengeruk 36.000 meter kubik saja sudah keluar Rp 600 juta,” kata Sumarno.
Kering kerontang
Di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, pekan lalu, kondisi Waduk Prijetan kering kerontang dari kapasitas normal 9 juta meter kubik. Waduk itu untuk mengairi 4.000 hektar sawah. Adapun kapasitas waduk terbesar di Lamongan, Waduk Gondang, tinggal 15 persen dari kapasitas normal 23 juta meter kubik. Padahal, waduk itu digunakan untuk mengairi 10.000 hektar sawah. Akibatnya, petani terancam tidak bisa bercocok tanam.
Sementara itu, lima waduk besar di Kabupaten Gresik, yakni Waduk Banjaranyar, Waduk Lowayu, Waduk Sumengko, Waduk Kali Ombo, serta Waduk Gedang Kulud, saat ini mengalami pendangkalan serius. Sebagian waduk mengering dan sebagian lagi tinggal 15 persen. Hal itu dikemukakan Kepala Bagian Pengkajian Masalah Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Gresik Herman Sianturi.
Kekeringan juga terjadi di beberapa waduk di daerah eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah, antara lain Waduk Gebyar dan Brambang di Sragen serta Waduk Kedunguling, Plumbon, Nawangan, dan Parangjoho di Wonogiri. Menurut Kepala BPSDA Air Bengawan Solo Ktut Arsa Indrawatara, air waduk tak bisa lagi memenuhi kebutuhan air selama setahun sesuai rancangan semula akibat tebalnya sedimentasi.
Data dari kantor Dinas Pekerjaan Umum Muria Timur, Kamis pekan lalu, menyebutkan, Waduk Gunungrowo yang berkapasitas 5,15 juta meter kubik telah berkurang hingga 70 persen. Akibatnya, areal pertanian seluas 4.685 hektar yang tersebar di Desa Trangkil, Tlogowungu, Gembong, Wedarijaksa, Juwana, dan Pati terancam kekurangan air.
Di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, Kepala Seksi Operasi Pengolahan Data BPSDA Waduk Sermo, Subagiya menerangkan, pintu air waduk akan ditutup selama musim kemarau untuk menjaga tinggi muka air waduk pada batas aman. Hingga pertengahan Juli, tinggi muka air waduk 133,47 meter dari permukaan air laut.
Total luas jangkauan saluran irigasi Waduk Sermo lebih dari 7.000 ha. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Kelautan Kulon Progo Agus Langgeng Basuki, saat ini pihaknya berupaya mengurangi risiko kehilangan air irigasi dengan memperbaiki sejumlah saluran irigasi tersier dan kuarter yang rusak.
Kekurangan air di daerah hilir akan dicukupi dengan pasokan dari Waduk Sapon di Kecamatan Lendah. Dengan perkiraan debit air dua meter kubik per detik dari aliran Sungai Progo, Waduk Sapon bisa mencukupi kebutuhan air untuk lahan pertanian seluas 300-400 hektar di daerah hilir. (JOY/DEE/ABK/APA/ ACI/EKI/SUP/YOP)

Kekeringan dan Tragedi Infrastruktur Pertanian

ANALISIS EKONOMI
Oleh BUSTANUL ARIFIN
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008 halaman 01.

Dua minggu lalu, saya berbincang dengan seorang rekan pejabat negara. Pembicaraan berubah agak serius setelah masuk pada topik kekeringan, buruknya infrastruktur irigasi, drainase, penampungan air, dan sebagainya.
Walaupun media massa telah melaporkan kekeringan melanda beberapa sentra produksi pangan, terutama di Pulau Jawa, pemerintah nyaris tak bergerak.
Dampak mikro kekeringan justru jauh lebih buruk karena secara perlahan tetapi pasti akan memengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Faktor infrastruktur irigasi dan manajemen sumber daya air menjadi sangat sentral dalam mengantisipasi kekeringan, terutama pada kasus non-ekstrem seperti sekarang. Dalam kosakata ekonomi kelembagaan, kondisi saat ini dapat ditafsirkan sebagai buruknya ”aransemen kelembagaan” dan kualitas governance dalam sistem pengambilan keputusan kebijakan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan secara terbuka mengakui ketiadaan pembangunan irigasi baru selama 10 tahun terakhir (Kompas, 23 Juli 2008), yang tentu sangat berpengaruh pada manajemen sumber daya air di Indonesia.
Pada kesempatan lain (Arifin, 2007), penulis menyampaikan bahwa kualitas infrastruktur pertanian menjadi semakin buruk pascaotonomi daerah.
Hasil studi lain juga menyimpulkan bahwa desain saluran irigasi dan minimnya dana operasional dan pemeliharaan (O & M = operation and maintenance) turut berkontribusi pada buruknya kualitas infrastruktur pertanian saat ini.

Peluang kekeringan ekstrem
Pada skala makro, para ahli klimatologi sebenarnya masih tidak yakin tentang peluang kekeringan ekstrem tahun ini karena perubahan iklim global yang mengacaukan prakiraan. Laporan berkala International Research Institute for Climate Prediction (IRI) menyebutkan, peluang kekeringan tahun 2008 tidak terlalu besar. Peluang ENSO Forecast (El-Nino Southern Oscillation) untuk daerah NINO 3.4 (Indonesia dan sekitarnya) pada Juni, Juli, dan Agustus (JJA) masih di bawah 10 persen, jauh lebih kecil daripada peluang basah 30 persen.
Maknanya, pada musim tanam gadu saat ini peluang iklim normal adalah 60 persen. Ramalan IRI itu juga menyebutkan, peluang kekeringan membesar pada Oktober, November, Desember (OND), yaitu 20 persen, atau lebih rendah daripada peluang basah 25 persen.
Fakta tersebut adalah suatu anomali tersendiri karena secara historis, pada tiga bulan OND itu adalah awal musim hujan. Para ahli memperkirakan musim tanam rendeng tahun ini akan mundur 1-2 bulan, karena perubahan iklim global tersebut.
Pada skala mikro, musim kering non-ekstrem kali ini dirasakan akan sangat memberatkan petani dan masyarakat desa karena petani harus mengairi sawahnya dari air tanah yang dipompa. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)—plus kelangkaan di beberapa tempat—terasa lebih berat bagi petani untuk menanggung biaya produksi yang semakin besar.

Ramalan produksi beras
Awal Juli, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali menaikkan ramalan produksi beras tahun 2008 (Aram 2) menjadi 59,88 juta ton gabah kering giling (GKG) walaupun terjadi kekeringan di beberapa tempat. Sumber pertumbuhan produksi 4,76 persen tersebut sudah mulai bergeser menjadi peningkatan produktivitas (2,76 persen) dan luas panen (1,96 persen). Tahun 2007, sumber pertumbuhan produksi padi lebih banyak disebabkan oleh peningkatan luas panen (3,06 persen) dan produktivitas (1,84 persen).
Fakta di atas secara tidak langsung dapat ditafsirkan bahwa dampak kekeringan terhadap produksi pangan tahun ini lebih besar dibandingkan tahun lalu karena pertambahan areal panen lebih lambat. Pada periode kekeringan ekstrem (El-Nino), seperti tahun 1992, 1997, dan 2002, dampak terhadap penurunan luas panen sangat signifikan. Sedangkan pada periode non-ekstrem (non-El-Nino), dampak kekeringan menurunkan keduanya: luas panen dan produktivitas per hektar.
Apakah ramalan produksi pangan di atas terlalu besar, studi akademik harus terus dilakukan karena faktor indeks pertanaman (IP) masih menjadi faktor dominan dalam estimasi luas panen dan produksi pangan.
Studi ilmiah dengan data historis kekeringan dan produksi pangan di Indonesia menyimpulkan terdapat penurunan produksi 4 persen selama empat kali periode El-Nino dan 6 persen untuk periode non-El-Nino [Yokoyama (2003), Ratag (2006)]. Dampak kekeringan terhadap produksi jagung bahkan lebih dahsyat (13,5 persen), terutama karena penurunan luas panen yang signifikan. Kehilangan produksi pangan pada tahun El-Nino biasanya terkompensasi pada tahun berikutnya karena faktor radiasi matahari yang lebih panjang. Bahkan, menurut Naylor dkk (2007), penurunan produksi karena kekeringan di Jawa/Bali dapat mencapai 18 persen pada Januari-April.
Singkatnya, kekeringan dan perubahan iklim global adalah riil. Fakta buruknya infrastruktur pertanian juga riil. Masyarakat hanya bisa berharap bahwa hal-hal yang diuraikan di atas bukan prakondisi keterjebakan Indonesia ke dalam prediksi Nicholas Stern.
Menurut Stern (2006), langkah rehabilitasi kerusakan karena dampak kekeringan dan perubahan iklim (reaktif) akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan langkah adaptasi dan mitigasi bencana pemanasan global itu (antisipatif).
Tak ada kata terlambat untuk memulai satu langkah sekecil apa pun—bukan bersilang pendapat—yang dapat berkontribusi pada kejayaan ekonomi pertanian dan kesejahteraan rakyat.

Bustanul Arifin,
Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi)