Senin, 28 Juli 2008

Infrastruktur Pengairan Rusak

Sebanyak 50 Bendung dan 13 Bendungan di Pulau Jawa Kurang Berfungsi
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008, halaman 01.

Bandung, Kompas - Pemerintah tampaknya harus segera mengambil langkah strategis guna mengatasi dampak kekeringan, terlebih terkait dengan ketahanan pangan. Pasalnya, sebagian infrastruktur pengairan di Pulau Jawa rusak, mulai dari kategori rusak ringan, sedang, sampai berat.
Dari hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air serta Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum terungkap, sebanyak 50 bendung dari total 106 bendung dan 13 dari total 47 bendungan di Pulau Jawa mengalami kerusakan. Sebagian besar kerusakan disebabkan perawatan operasional bangunan yang kurang memadai dan tuanya usia bangunan.
Kepala Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Arie Moerwanto dalam Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Kamis (24/7) di Bandung, merinci, sebanyak 27 bendung rusak berat, 9 bendung rusak sedang, dan 14 lain rusak ringan. Adapun 13 bendungan yang rusak memerlukan penelitian dan analisis lebih lanjut untuk memastikan kemampuan operasional dan perlu tidaknya perbaikan.
Dalam istilah pengairan, ”bendung” adalah bangunan yang digunakan untuk meninggikan muka air sungai sampai pada ketinggian yang diperlukan agar air dapat dialirkan ke saluran irigasi dan petak tersier. Sedangkan ”bendungan” adalah bangunan yang dibuat untuk membendung aliran air.
Beberapa bendung di Pulau Jawa yang rusak berat, antara lain Bendung Cibanten, Cisangu, Katulampa, Rancasumur, dan Cikeusik. Sedangkan bendungan yang rusak dan harus segera diperbaiki antara lain Bendungan Cacaban, Lodan Wetan, Gembong, dan Notopuro.
Menurut Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jawa Barat Iding Srihadi, kekeringan belum menurunkan permukaan air waduk di Jabar secara drastis. ”Hanya satu waduk yang volumenya turun cukup banyak, dari 26 juta meter kubik menjadi 24 juta meter kubik, yaitu Waduk Darma di Kuningan. Sedangkan di Waduk Saguling, Cirata, Jatiluhur, volumenya masih normal,” kata Iding.
Sementara itu, di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, tinggi endapan di Waduk Dawuhan, Notopuro, dan Saradan mencapai sekitar dua meter dari dasar waduk. Akibatnya, daya tampung waduk berkurang. Imbasnya, pasokan air untuk 6.264 hektar sawah tidak bisa maksimal, sebagian sawah tidak terairi pada masa tanam ketiga.
Sejumlah langkah telah dilakukan untuk mengatasi pendangkalan, seperti pengerukan endapan di Waduk Dawuhan yang kini sedang dikerjakan. Namun, endapan yang dikeruk hanya 36.000 meter kubik, padahal endapan yang ada mencapai jutaan meter kubik. ”Untuk mengeruk semuanya dibutuhkan dana miliaran rupiah,” kata Sumarno, Pejabat Pembuat Komitmen Pengembangan dan Konservasi Sumber Daya Air Bengawan Solo. ”Untuk mengeruk 36.000 meter kubik saja sudah keluar Rp 600 juta,” kata Sumarno.
Kering kerontang
Di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, pekan lalu, kondisi Waduk Prijetan kering kerontang dari kapasitas normal 9 juta meter kubik. Waduk itu untuk mengairi 4.000 hektar sawah. Adapun kapasitas waduk terbesar di Lamongan, Waduk Gondang, tinggal 15 persen dari kapasitas normal 23 juta meter kubik. Padahal, waduk itu digunakan untuk mengairi 10.000 hektar sawah. Akibatnya, petani terancam tidak bisa bercocok tanam.
Sementara itu, lima waduk besar di Kabupaten Gresik, yakni Waduk Banjaranyar, Waduk Lowayu, Waduk Sumengko, Waduk Kali Ombo, serta Waduk Gedang Kulud, saat ini mengalami pendangkalan serius. Sebagian waduk mengering dan sebagian lagi tinggal 15 persen. Hal itu dikemukakan Kepala Bagian Pengkajian Masalah Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Gresik Herman Sianturi.
Kekeringan juga terjadi di beberapa waduk di daerah eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah, antara lain Waduk Gebyar dan Brambang di Sragen serta Waduk Kedunguling, Plumbon, Nawangan, dan Parangjoho di Wonogiri. Menurut Kepala BPSDA Air Bengawan Solo Ktut Arsa Indrawatara, air waduk tak bisa lagi memenuhi kebutuhan air selama setahun sesuai rancangan semula akibat tebalnya sedimentasi.
Data dari kantor Dinas Pekerjaan Umum Muria Timur, Kamis pekan lalu, menyebutkan, Waduk Gunungrowo yang berkapasitas 5,15 juta meter kubik telah berkurang hingga 70 persen. Akibatnya, areal pertanian seluas 4.685 hektar yang tersebar di Desa Trangkil, Tlogowungu, Gembong, Wedarijaksa, Juwana, dan Pati terancam kekurangan air.
Di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, Kepala Seksi Operasi Pengolahan Data BPSDA Waduk Sermo, Subagiya menerangkan, pintu air waduk akan ditutup selama musim kemarau untuk menjaga tinggi muka air waduk pada batas aman. Hingga pertengahan Juli, tinggi muka air waduk 133,47 meter dari permukaan air laut.
Total luas jangkauan saluran irigasi Waduk Sermo lebih dari 7.000 ha. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Kelautan Kulon Progo Agus Langgeng Basuki, saat ini pihaknya berupaya mengurangi risiko kehilangan air irigasi dengan memperbaiki sejumlah saluran irigasi tersier dan kuarter yang rusak.
Kekurangan air di daerah hilir akan dicukupi dengan pasokan dari Waduk Sapon di Kecamatan Lendah. Dengan perkiraan debit air dua meter kubik per detik dari aliran Sungai Progo, Waduk Sapon bisa mencukupi kebutuhan air untuk lahan pertanian seluas 300-400 hektar di daerah hilir. (JOY/DEE/ABK/APA/ ACI/EKI/SUP/YOP)

Tidak ada komentar: