Oleh BUSTANUL ARIFIN
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 28 Juli 2008 halaman 01.
Dua minggu lalu, saya berbincang dengan seorang rekan pejabat negara. Pembicaraan berubah agak serius setelah masuk pada topik kekeringan, buruknya infrastruktur irigasi, drainase, penampungan air, dan sebagainya.
Walaupun media massa telah melaporkan kekeringan melanda beberapa sentra produksi pangan, terutama di Pulau Jawa, pemerintah nyaris tak bergerak.
Dampak mikro kekeringan justru jauh lebih buruk karena secara perlahan tetapi pasti akan memengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Faktor infrastruktur irigasi dan manajemen sumber daya air menjadi sangat sentral dalam mengantisipasi kekeringan, terutama pada kasus non-ekstrem seperti sekarang. Dalam kosakata ekonomi kelembagaan, kondisi saat ini dapat ditafsirkan sebagai buruknya ”aransemen kelembagaan” dan kualitas governance dalam sistem pengambilan keputusan kebijakan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan secara terbuka mengakui ketiadaan pembangunan irigasi baru selama 10 tahun terakhir (Kompas, 23 Juli 2008), yang tentu sangat berpengaruh pada manajemen sumber daya air di Indonesia.
Pada kesempatan lain (Arifin, 2007), penulis menyampaikan bahwa kualitas infrastruktur pertanian menjadi semakin buruk pascaotonomi daerah.
Hasil studi lain juga menyimpulkan bahwa desain saluran irigasi dan minimnya dana operasional dan pemeliharaan (O & M = operation and maintenance) turut berkontribusi pada buruknya kualitas infrastruktur pertanian saat ini.
Peluang kekeringan ekstrem
Pada skala makro, para ahli klimatologi sebenarnya masih tidak yakin tentang peluang kekeringan ekstrem tahun ini karena perubahan iklim global yang mengacaukan prakiraan. Laporan berkala International Research Institute for Climate Prediction (IRI) menyebutkan, peluang kekeringan tahun 2008 tidak terlalu besar. Peluang ENSO Forecast (El-Nino Southern Oscillation) untuk daerah NINO 3.4 (Indonesia dan sekitarnya) pada Juni, Juli, dan Agustus (JJA) masih di bawah 10 persen, jauh lebih kecil daripada peluang basah 30 persen.
Maknanya, pada musim tanam gadu saat ini peluang iklim normal adalah 60 persen. Ramalan IRI itu juga menyebutkan, peluang kekeringan membesar pada Oktober, November, Desember (OND), yaitu 20 persen, atau lebih rendah daripada peluang basah 25 persen.
Fakta tersebut adalah suatu anomali tersendiri karena secara historis, pada tiga bulan OND itu adalah awal musim hujan. Para ahli memperkirakan musim tanam rendeng tahun ini akan mundur 1-2 bulan, karena perubahan iklim global tersebut.
Pada skala mikro, musim kering non-ekstrem kali ini dirasakan akan sangat memberatkan petani dan masyarakat desa karena petani harus mengairi sawahnya dari air tanah yang dipompa. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)—plus kelangkaan di beberapa tempat—terasa lebih berat bagi petani untuk menanggung biaya produksi yang semakin besar.
Ramalan produksi beras
Awal Juli, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali menaikkan ramalan produksi beras tahun 2008 (Aram 2) menjadi 59,88 juta ton gabah kering giling (GKG) walaupun terjadi kekeringan di beberapa tempat. Sumber pertumbuhan produksi 4,76 persen tersebut sudah mulai bergeser menjadi peningkatan produktivitas (2,76 persen) dan luas panen (1,96 persen). Tahun 2007, sumber pertumbuhan produksi padi lebih banyak disebabkan oleh peningkatan luas panen (3,06 persen) dan produktivitas (1,84 persen).
Fakta di atas secara tidak langsung dapat ditafsirkan bahwa dampak kekeringan terhadap produksi pangan tahun ini lebih besar dibandingkan tahun lalu karena pertambahan areal panen lebih lambat. Pada periode kekeringan ekstrem (El-Nino), seperti tahun 1992, 1997, dan 2002, dampak terhadap penurunan luas panen sangat signifikan. Sedangkan pada periode non-ekstrem (non-El-Nino), dampak kekeringan menurunkan keduanya: luas panen dan produktivitas per hektar.
Apakah ramalan produksi pangan di atas terlalu besar, studi akademik harus terus dilakukan karena faktor indeks pertanaman (IP) masih menjadi faktor dominan dalam estimasi luas panen dan produksi pangan.
Studi ilmiah dengan data historis kekeringan dan produksi pangan di Indonesia menyimpulkan terdapat penurunan produksi 4 persen selama empat kali periode El-Nino dan 6 persen untuk periode non-El-Nino [Yokoyama (2003), Ratag (2006)]. Dampak kekeringan terhadap produksi jagung bahkan lebih dahsyat (13,5 persen), terutama karena penurunan luas panen yang signifikan. Kehilangan produksi pangan pada tahun El-Nino biasanya terkompensasi pada tahun berikutnya karena faktor radiasi matahari yang lebih panjang. Bahkan, menurut Naylor dkk (2007), penurunan produksi karena kekeringan di Jawa/Bali dapat mencapai 18 persen pada Januari-April.
Singkatnya, kekeringan dan perubahan iklim global adalah riil. Fakta buruknya infrastruktur pertanian juga riil. Masyarakat hanya bisa berharap bahwa hal-hal yang diuraikan di atas bukan prakondisi keterjebakan Indonesia ke dalam prediksi Nicholas Stern.
Menurut Stern (2006), langkah rehabilitasi kerusakan karena dampak kekeringan dan perubahan iklim (reaktif) akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan langkah adaptasi dan mitigasi bencana pemanasan global itu (antisipatif).
Tak ada kata terlambat untuk memulai satu langkah sekecil apa pun—bukan bersilang pendapat—yang dapat berkontribusi pada kejayaan ekonomi pertanian dan kesejahteraan rakyat.
Bustanul Arifin,
Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar