Jakarta, Kompas - Upaya pemerolehan sertifikasi hasil riset tanaman pangan berupa padi varietas tahan hama penggerek oleh LIPI sejak 2004 hingga sekarang masih tertahan. Uji lapangan sedikitnya di 20 lokasi belum membuahkan kejelasan pengeluaran sertifikasi yang menjadi kewenangan Departemen Pertanian.
”Varietas padi tahan hama penggerek itu tidak akan pernah dilepas kalau belum memperoleh sertifikasinya,” kata Kepala Bidang Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual pada Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Subiyatno, Kamis (4/9) di Jakarta.
Menurut Subiyatno, varietas padi tahan hama penggerek itu merupakan yang pertama kali dihasilkan. Saat ini pengembangan riset padi yang dilakukan di LIPI masih dilanjutkan untuk mendapatkan varietas tahan terhadap ancaman kondisi ekstrem, seperti kekeringan atau banjir.
Riset sendiri
Secara terpisah, Kepala LIPI Umar Anggara Jenie menyatakan, selama ini riset tanaman pangan yang dilakukan LIPI bukanlah atas permintaan departemen terkait. Pihaknya melakukan riset atas inisiatif sendiri.
Namun, memang terjadi kendala pada upaya menyajikan hasil-hasil riset tersebut kepada publik karena harus melibatkan departemen teknis lainnya.
”Riset tanaman pokok pangan sangatlah penting agar tak masuk perangkap pangan yang secara tak sadar menimbulkan ketergantungan pada negara lain. Tetapi, kemauan politik sampai kini tak diarahkan ke situ,” katanya.
Tak perlu lembaga baru
Asisten Deputi Urusan Perkembangan Ilmu Hayati Kementerian Negara Riset dan Teknologi Prasetyo Sunarso mengatakan, saat ini dibutuhkan jalur komunikasi yang baik antarlembaga riset dengan departemen teknis.
Menurut Prasetyo tidak perlu lagi membentuk konsorsium teknis dalam bentuk lembaga baru.
”Masalah yang muncul sekarang antara lain pada mekanisme pemberian hasil riset atau estafet hasil penelitian dari lembaga riset ke departemen teknis. Hendaknya ini yang menjadi pembahasan Dewan Riset Nasional (DRN),” kata Prasetyo.
Dia juga mengungkapkan, riset tanaman pangan saat ini dihadapkan pada kendala uji multilokasi. Lembaga riset sering terkendala untuk melaku- kan itu karena mahal. Biaya tersebut bisa mencapai Rp 800 juta.
”Uji multilokasi semestinya menjadi tanggung jawab departemen teknis yang khusus menanganinya,” kata Prasetyo. (NAW/YUN)
[ Kembali ]
1 komentar:
klo tidak ada biayanya bagaimana risetnya bisa berlanjut???
Posting Komentar