Membahana dan menggelegar serta mirip pertarungan Daud melawan Goliat. Tidak banyak yang tahu, tetapi itulah yang terjadi pada setiap perundingan perdagangan internasional sejak Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO meluncurkan Putaran Doha tahun 2001 di Qatar.
Goliat WTO (AS dan Uni Eropa) tak lagi bisa mendikte Daud, negara berkembang yang selama bertahun-tahun diserbu produk-produk buatan Goliat. Green Room, sebuah ruang pertemuan yang hanya menampung 30-40 perwakilan negara anggota di Geneva, markas WTO, tak lagi menjadi ajang di mana ”penjajah” bisa semena-mena mendikte.
Lanjutan Putaran Doha, julukan bagi serangkaian pembicaraan, terbaru berlangsung 21-30 Juli lalu akhirnya gagal juga. Direktur Jenderal WTO Pascal Lamy sedih sekaligus terperangah. ”Kegagalan perundingan memperlihatkan negara berkembang ingin mengakhiri praktik- praktik kolonial yang selalu menguntungkan negara maju,” kata Lamy pada Radio France Inter.
”Kali ini negara berkembang menginginkan peraturan yang berimbang, khususnya soal sektor pertanian,” kata Lamy.
Kegagalan itu terjadi akibat perlawanan kepada Goliat. Selama ini negara maju sudah berkuasa dalam teknologi dan produk jasa (keuangan, perbankan), kini pun mereka ingin membanjiri negara berkembang dengan produk-produk pertanian. Di mana kesempatan negara berkembang menjual produknya, khususnya sektor pertanian, termasuk kapas Afrika yang unggul, tetapi terhambat memasuki pasar negara maju?
Ada semacam tipu muslihat. Negara berkembang dituntut menerima impor produk pertanian negara maju. Hal ini disetujui dengan batasan. Jika impor melebihi 115 persen dari basis volume impor, negara berkembang bisa mengenakan tarif impor tambahan.
Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, ini adalah hak yang dituntut negara berkembang dalam skema mekanisme pengamanan khusus (special safeguard mechanism/SSM) yang diperjuangkan di Hongkong tahun 2005.
AS menginginkan tarif tambahan hanya bisa dikenakan jika volume impor telah melebihi 140 persen dari basis impor. Kepala Perwakilan Dagang AS Susan Schwab secara mengejutkan memaksakan hal ini dalam pertemuan G-7 WTO (AS, Uni Eropa, Jepang, Australia, Brasil, India, dan China). Pertemuan G-7, yang terbatas pada tujuh negara, merupakan taktik AS untuk menekan negara berkembang yang diwakili India, Brasil, dan China.
Menteri Luar Negeri Brasil Celso Amorim serta Menteri Perdagangan dan Perindustrian India Kamal Nath menolak tegas. Penolakan ini membuat suasana perundingan memanas. Schwab langsung menuding sejumlah negara berkembang (India, China, dan Brasil) telah menghambat suksesnya perundingan. ”Jika pembatasan dilakukan setelah impor menjadi 140 persen, para petani di negara berkembang sudah keburu terpuruk,” kata Mari.
Mari mengatakan, penolakan negara berkembang bukan hanya itu, melainkan juga soal proses dan mekanisme perundingan. Misalnya, kepada Pascal Lamy ia langsung mempertanyakan, ”Mengapa ada draf kesepakatan yang muncul tanpa diketahui dan tanpa proses yang melibatkan negara berkembang?”
Mari menuntut setiap kesepakatan harus bisa berlaku secara operasional dan efektif. Artinya, sebaiknya tidak ada negara yang menjadi bingung akibat sebuah kesepakatan yang mengganggu dan memberi distorsi.
Membentuk kelompok
Mari menceritakan mengapa perlawanan seperti itu muncul dan makin mengkristal. Hal ini terpicu pada pertemuan di Cancun, resor wisata di Meksiko, yang juga merupakan lokasi Putaran Doha tahun 2003.
Di Cancun, mendadak muncul Singapore Issues. AS mengingkari janji yang pernah diutarakan oleh George W Bush bahwa perdagangan harus menjadi sarana pemberantasan kemiskinan di negara berkembang.
Artinya, ada hak-hak negara berkembang untuk mengembangkan sektor pertanian tanpa keharusan membuka diri pada serbuan semua produk pertanian negara maju. Di sisi lain, negara berkembang berhak menuntut negara maju menghilangkan subsidi pertanian bagi para petani agar negara berkembang itu memiliki daya saing menghadapi petani Barat, yang selama ini mabuk subsidi.
”Muncullah kesadaran negara berkembang, yang kemudian membentuk kelompok-kelompok, seperti G-20, G-33, dan G-90,” kata Mari. Ini menjadi ajang bagi negara berkembang untuk tetap bersatu membela kepentingannya. Mari menjadi Ketua Koordinasi G-33.
Amorim dan Nath pun memberi tahu perkembangan kepada Mari untuk pertemuan yang hanya dihadiri G-7 WTO. Nath pernah mengatakan, Indonesia termasuk mitra andalan di WTO. Kontak intensif pun berlanjut, khususnya antara Indonesia, India, Brasil, China, Meksiko, Kenya, dan Afrika Selatan, pentolan negara berkembang.
Kegagalan perundingan di sektor pertanian pun mau tak mau merembet ke sektor lain, yang sebenarnya mencapai kemajuan. Ini gagal karena sikap AS dan Uni Eropa yang mempraktikkan era kolonialisme.
”Masalahnya, keputusan di WTO didasarkan pada konsensus. Tak ada yang bisa disetujui hingga semua hal sama-sama disepakati,” kata Mari. (MON)
[Kembali]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar