Jumat, 29 Agustus 2008

Mengapa Minat Studi Pertanian Menurun?

Ketertarikan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 28 Agustus 2008.

Oleh Surya Abadi Sembiring

Harian Kompas, 1 Agustus 2008, menyoroti jurusan pertanian menyisakan 9.019 kursi kosong di 47 perguruan tinggi negeri. ”Tajuk Rencana” Harian Kompas, 2 Agustus 2008, secara khusus membahas topik tentang studi pertanian kurang peminat. Dalam pembahasan topik tersebut diuraikan fakta dan rekomendasi.

Sebagian besar anak petani tidak berminat memilih jurusan pertanian meskipun biaya studinya dari kegiatan usaha tani. Kalau anak petani tidak bersedia memilih jurusan pertanian, bagaimana dengan anak nonpetani?

Anak petani tidak mau seperti orangtuanya meskipun telah mendapat pelajaran di sekolah bahwa Indonesia adalah negara agraris dan penjelasan lainnya. Dalam benak penulis, para petani telah rela menjadikan mereka sebagai hamba bagi banyak orang dan sebagai hamba mereka melakukan tugasnya dengan tanggung jawab, dedikasi yang tinggi, kejujuran, tidak selalu mendapatkan pujian dan sering dilupakan.

Ataukah orangtua sebagai petani dengan sadar tidak mendorong anaknya masuk ke jurusan pertanian karena menjadi petani identik dengan kesulitan. Dalam perjalanan kehidupannya yang panjang sebagai petani, frekuensi tertawa (ketika hasil usaha taninya dijual dengan harga yang tinggi) lebih sedikit dibandingkan dengan rasa kecewa dan sedih (ketika harga-harga input yang terus naik dan harga usaha taninya tidak menentu). Apabila petani lebih sering kecewa dan dalam kesedihan, anaknya pun ikut merasakannya dan tidak termotivasi memilih jurusan pertanian.

Apakah calon mahasiswa tidak memilih karena menjadi petani identik dengan kemiskinan? Si calon mahasiswa mengalami dan melihat pengalaman orangtuanya yang selalu meminjam setiap membiayai sekolahnya atau memenuhi kebutuhan hidup lainnya sehingga memutuskan tidak memilih pada jurusan pertanian.

Modal terbatas

Gambaran petani Indonesia identik dengan skala usaha sempit, modal terbatas, teknologi yang kurang berkembang, dan tingkat pendidikan rendah. Paradigma tersebut secara tidak langsung membentuk pola berpikir calon mahasiswa. Dalam benak seorang calon mahasiswa terbentuk suatu paradigma bahwa ”menjadi petani tidak perlu pendidikan yang lebih tinggi”. Si calon mahasiswa berkaca dari orangtuanya yang tidak mengecap pendidikan tinggi, tetapi terampil mengelola usaha taninya. Kadang rumor yang beredar bahwa ”petani lebih terampil dari seorang sarjana pertanian”. Khusus di daerah pertanian yang petaninya sudah lebih maju ada istilah ”jangan ajari petani cara bercocok tanam”.

Lebih menjadi pertanyaan, hasil survei suatu perguruan tinggi yang fokus di bidang pertanian menunjukkan hanya sebagian kecil mahasiswa memilih bekerja di bidang pertanian daripada bekerja di nonpertanian.

Mengapa? Karena, kondisi sekarang, bidang nonpertanian membutuhkan tenaga kerja lebih banyak dan menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik. Pada kolom Klasika Harian Kompas (Hal 33 sampai 44, 2 Agustus 2008) ada 940 perusahaan/jasa membutuhkan tenaga kerja, tetapi hanya 3 (tiga) perusahaan atau sekitar 0,31 persen dari total perusahaan/jasa yang membutuhkan tenaga kerja di bidang sarjana pertanian. Fakta tersebut berbicara secara nyata bahwa memilih program studi nonpertanian lebih menjanjikan dibandingkan dengan pertanian. Oleh karena itu, tidak perlu heran apabila seorang sarjana pertanian juga memilih bidang nonpertanian.

Dalam temu wicara antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan petani dan peneliti pada Pekan Padi Nasional III tanggal 24 Juli 2008 di Sukamandi, peneliti menyampaikan keluhan kepada Presiden SBY. Intinya, ” kalau seorang pemain sepak bola yang memasukkan sebuah gol ke gawang lawan dihargai puluhan juta, juara bulu tangkis diberi penghargaan yang tinggi, tetapi peneliti yang menghasilkan varietas baru tidak dihargai”.

Presiden SBY merespons keluhan peneliti tersebut untuk ditindaklanjuti oleh Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi sebagai suatu masukan bagi jenjang karier seorang peneliti. Coba renungkan, para peneliti di bidang pemuliaan tanaman, dalam kesendirian bergelut dengan penelitiannya, tidak ada sorak-sorai penonton seperti di cabang sepak bola atau bulu tangkis, menemukan varietas padi baru dan varietas tersebut dinikmati dan mampu meningkatkan pendapatan banyak petani, tetapi peneliti (sarjana pertanian) tidak pernah mendapatkan penghargaan yang layak. Apakah masih ada yang berminat memilih jurusan pertanian?

Kalau kita jujur, apakah dosen/peneliti/pegawai negeri yang bergelut dengan dunia pertanian juga pernah memotivasi anaknya memilih jurusan pertanian? (masalah pilihan memang ada pada mereka). Penulis tahu ada seorang guru besar yang mengajar di fakultas pertanian mempunyai seorang anak kuliah di jurusan pertanian. Sebelum calon mahasiswa memilih jurusan pertanian, komunikasi telah berlangsung antara anak dan guru besar tersebut.

Harus diakui bahwa selama ini pembangunan kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan (pertanian) cenderung terpolarisasi. Pada kutub yang satu, kawasan perkotaan berkembang dengan cepat, berpendapatan tinggi, modern, dan menjadi pusat pertumbuhan, sedangkan pada kutub yang lain terdapat kawasan pedesaan yang berkembang lambat, berpendapatan rendah, terbelakang, dan tergolong miskin. Kondisi ini juga memungkinkan seorang calon mahasiswa tidak memilih jurusan pertanian karena identik kembali ke desa.

Presiden SBY dalam pembukaan Pekan Padi Nasional III menyebutkan bahwa sekarang waktunya beralih dari revolusi hijau tahap pertama ke revolusi hijau tahap kedua yang ramah lingkungan. Revolusi hijau pertama telah berhasil meningkatkan produktivitas padi, tetapi kehilangan kehidupan biodiversiti, Di sisi lain, perubahan eksternal, seperti meningkatnya permintaan produksi pertanian organik, ekses permintaan pangan di tingkat dunia, serta kompetisi antara pakan dan energi terhadap produksi pangan, seharusnya menjadi tantangan sekaligus peluang sektor pertanian.

Perubahan kebijakan dan kondisi eksternal seharusnya membutuhkan lebih banyak sarjana pertanian, tetapi calon mahasiswa yang memilih jurusan pertanian minim.

Kebijakan pemerintah yang berpihak kepada petani akan meningkatkan kesejahteraan para petani sehingga memiliki kesempatan membiayai anaknya mencapai pendidikan lebih tinggi, tetapi anak tersebut bukannya memilih jurusan pertanian. Apa dan siapa yang salah apabila bangku program studi pertanian masih kosong sebanyak 9.019 kursi di 47 perguruan tinggi negeri di Indonesia?

SURYA ABADI SEMBIRING Mahasiswa S-3 Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SPs IPB; Dosen Unika St Thomas, Medan

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: