Jumat, 08 Agustus 2008

Rezim Pertanian Remukkan Petani

KRISIS
Oleh MARIA HARTININGSIH
Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, 11 Juli 2008.

Ini proyeksi konservatif dari Bank Dunia: lebih dari 100 juta orang di dunia mengalami kelaparan karena krisis pangan yang melanda banyak negara. Pada saat yang sama, keuntungan segelintir korporasi transnasional (TNCs) di bidang pangan meningkat berlipat-lipat.
Editor lingkungan The Independent di Inggris, Geoffrey Lean (04/05/08), menulis, pendapatan bersih Monsanto tiga bulan terakhir—sampai akhir Februari 2008—meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan rentang waktu sama pada tahun sebelumnya: dari 543 juta dollar AS menjadi 1,12 miliar dollar AS.
Korporasi transnasional lainnya, Cargill, menangguk kenaikan sekitar 86 persen, dari 553 juta dollar menjadi 1,030 miliar dollar AS. Tujuh tahun terakhir ini Cargill menginvestasikan 17 miliar dollar AS dalam bentuk modal tetap dan modal kerja, termasuk untuk riset dan pengembangan. Pendapatan bersih salah satu korporasi pengolah bijian-bijian terbesar di dunia, Archer Daniels Midland, juga naik sampai 42 persen, dari 363 juta dollar AS menjadi 517 dollar AS.
Kenaikan pendapatan dan keuntungan di tengah ancaman kelaparan ini, menurut para ilmuwan dan aktivis, memperlihatkan watak dasar korporasi: serakah dan tak punya etika!
Di tengah krisis pupuk, pendapatan bersih korporasi pupuk terbesar di dunia, Mosaic Company, naik 12 kali lipat: dari 42,2 juta dollar AS menjadi 520,8 juta dollar AS. Harga beberapa jenis pupuk naik tiga kali lipat karena kebutuhan yang jauh melampaui pasokan. Situasi itu memukul banyak negara berkembang yang ingin meningkatkan produksi pangannya. Organisasi Pangan Dunia (FAO) melaporkan, 37 negara berkembang sangat membutuhkan pangan saat ini.
Kenaikan harga pangan dunia jelas dipicu oleh kebutuhan yang meningkat. Sebagian disebabkan oleh booming biofuels yang membutuhkan sejumlah besar biji-bijian, sebagian lagi disebabkan oleh kebutuhan daging di India dan China—untuk memproduksi 0,45 kilogram daging, misalnya, dibutuhkan 3,5 kilogram biji-bijian—selain rendahnya cadangan pangan dunia, larangan ekspor, dan kekeringan di Australia.
Namun, menurut Profesor Bob Watson, ilmuwan kepala dari Departemen untuk Masalah Lingkungan, Pangan, dan Pedesaaan AS, kenaikan harga pangan itu terutama dipicu oleh spekulasi.
Harga komoditas pertanian sebenarnya tak berbeda dengan harga minyak. Dalam sistem ekonomi pasar yang kapitalistik, ekonomi spekulan lebih berperan dalam menentukan harga.
Tahun lalu indeks-fund dari investasi di bidang pangan dan daging naik hampir lima kali, mencapai lebih dari 47 miliar dollar AS. Dalam pasar uang, yang penting bukan besarnya aset dasar, melainkan produk-produk instrumen keuangan, seperti future trading dan transaksi derivatif di pasar modal.

Pendekatan suplai
Dengan kondisi seperti itu, pertanyaannya, di mana posisi petani tanaman pangan di Indonesia, yang 48,5 persennya berlahan kurang dari 0,5 hektar dan separuh rumah tangganya hanya menguasai lahan kurang dari 0,25 hektar. Lalu, bagaimana kita menjawab ancaman kelaparan di Indonesia?
Petani di Indonesia adalah soko guru sistem pangan nasional. Puluhan juta keluarga petani berlahan sempit bekerja keras untuk menghasilkan berbagai bahan kebutuhan pangan untuk keluarganya sendiri dan orang lain.
Makanan pokok lebih dari 95 persen penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta saat ini adalah beras, setelah Pemerintah Orde Baru memperkenalkan beras pada komunitas-komunitas yang makanan pokoknya semula nonberas dan kurang memberi perhatian pada budidaya tanaman pangan nonberas. Karena itu, diskusi soal pangan pun biasanya didominasi cerita tentang beras.
Nasib petani pangan dan masa depan sistem pangan Indonesia dipengaruhi oleh konfigurasi ekonomi-politik di tingkat internasional, nasional, dan lokal.
Dalam satu dasawarsa terakhir terjadi berbagai perubahan kebijakan strategis di berbagai tingkatan, termasuk liberalisasi pangan tahun 1998 yang diwujudkan dalam kebijakan di dalam negeri dengan mencabut subsidi pupuk, melepas tata niaga pupuk, menghapus pembiayaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia untuk kredit ini.
Di dalam paket kebijakan reformasi termasuk pembukaan impor beras bagi para importir. Perubahan situasi strategis di semua lini itu membangkitkan kekhawatiran tentang masa depan petani tanaman pangan Indonesia, yang sebagian petani gurem.
Sayangnya, diskusi tak membedah lebih dalam persoalan ini. Semua cerita tentang pangan dalam diskusi lebih dibicarakan dari sisi pasokan, tak sungguh-sungguh serius mencari solusi yang dihadapi produsen primernya, yakni petani gurem itu, bukan para pemodal besar yang beberapa tahun terakhir ini beramai-ramai masuk ke sektor pertanian karena melihat peluang besar di situ.
Penguasaan lahan sangat luas untuk pertanian oleh pemodal besar (corporate farming) di luar Jawa dengan izin pemerintah—dalam otonomi daerah, pemerintah di daerah mengundang investor untuk berinvestasi di wilayahnya dengan menawarkan lahan di wilayahnya—sedikit banyak mengingatkan pada penguasaan hutan dengan skema hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH) yang diciptakan rezim Orde Baru, dengan sejumlah kebijakan yang mendukungnya.
Perkembangan corporate farming membuat cerita tentang ”ketahanan” dan ”kedaulatan pangan” ataupun ”nasionalisme pangan” tak bisa diandaikan karena inklinasinya memberi toleransi pada peluang besar corporate farming, yang cenderung menguasai wilayah hulu sampai hilir dari produksi pangan dan mengukuhi watak dasar korporasi yang sudah disebutkan di atas.

Kedaulatan dari akar
Soal pangan tak seharusnya didominasi dengan upaya meningkatkan produktivitas, apalagi produktivitas pemodal. Revolusi Hijau yang dipromosikan Club of Rome pada awal tahun 1970-an tak mampu menjawab tantangan zaman ketika dampak perubahan iklim kian serius dan bencana akibat alam ataupun ulah manusia kian meruyak.
Masalah pangan juga tak bisa semata demi kestabilan ekonomi karena pertanyaannya jelas: kestabilan ekonomi siapa?
Ekonomi petani sudah lama ambruk. Di Lombok petani padi hanya ”laba nyawa”. Pupuk langka dan kalaupun ada tak terbeli, benih harus membeli, tanah makin sempit, air sulit, hutan hancur, sumber daya alam habis dikeruk, dan lingkungan rusak parah. Kalau kemudian mereka menjual lahannya, lalu menjadi buruh di negeri orang, yang harus diawasi adalah alasan mengapa hal itu terpaksa dilakukan.
Inilah rentetan kejadian berikutnya akibat kehancuran kehidupan petani di kampung, anak-anak kurang gizi, kelaparan, dan mati karena penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa disembuhkan, tetapi sistem kesehatan komunitas sudah hancur dan biaya pengobatan tak terjangkau. Anak perempuan putus sekolah akibat biaya sekolah sangat mahal lalu kawin muda. Istri harus menyelamatkan ekonomi keluarga dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang, yang tak jarang pulang sebagai mayat, cacat berat, atau (paling ringan) dikemplang gajinya oleh majikan. Seluruh penderitaan ini dilarutkan menjadi soal produktivitas dalam berbagai kebijakan tentang pangan.
Lalu, jalan keluarnya? Jawabannya terkait dengan seberapa besar investasi publik untuk mengembalikan kehidupan pertanian yang berpusat di kampung atau desa dan kehendak (pemerintah) untuk melakukannya. Kalau jawabannya tak ada dana, pertanyaannya, ke mana devisa 5 miliar dollar per tahun dari tenaga kerja Indonesia yang 75 persennya perempuan?
Memulihkan ekonomi petani di kampung akan memberikan jawaban pada kedaulatan pangan dari akarnya dan pemeliharaan lingkungan karena kepemilikan rezim makanan ada pada pelaku atau subyek primernya. Kalau mau reforma agraria, itu tidak dilakukan dengan membagi-bagi tanah dan memberi sertifikat karena selalu ada godaan untuk menjualnya.
Tetapi, semua ini hanya mudah dituliskan. Di luar sana, tanah adalah komoditas ekonomi dan politik. Sejarah kelam negeri ini berhulu pada soal tanah. Nasib petani terus menjadi taruhan dan perlawanan untuk merebut kembali hidupnya selalu mendapat cap hitam: subversif!

Tidak ada komentar: