Oleh Benyamin Lakitan
Pasti ada yang salah dengan dua fakta yang terkesan kontradiktif ini. Pertama, harga pangan dunia yang melonjak tajam—berarti ada prospek bisnis di sektor ini—dan pemerintah pada saat ini memberikan subsidi yang besar (33 triliun tahun 2008 dan 35 triliun tahun depan) untuk menggenjot produksi pangan.
Kedua, sangat rendahnya minat lulusan SMA untuk menempuh pendidikan tinggi di bidang pertanian—yang secara meyakinkan dibuktikan dengan 2.894 kesempatan masuk perguruan tinggi negeri untuk bidang ilmu-ilmu pertanian yang tidak dimanfaatkan pada tahun ini. Fenomena ini tidak hanya terjadi tahun ini, tetapi juga pada beberapa tahun belakangan ini.
Dua fakta ini tentu mengundang tanya walau ada faktor penarik yang seharusnya menjadikan bisnis pangan menjadi lebih atraktif, yakni masih besarnya permintaan pasar untuk komoditas pangan dengan harga yang tinggi, dan dukungan pemerintah yang besar sebagaimana tercermin dari besarnya subsidi pangan. Akan tetapi, mengapa bisnis ini masih belum atraktif?
Apakah rendahnya minat kuliah bidang pertanian ini merupakan cerminan dari kegagalan kelembagaan terkait dalam meyakinkan publik tentang pentingnya sektor pertanian untuk masa depan perekonomian nasional? Atau hanya karena alasan praktis, yakni bekerja di sektor pertanian tidak memberikan reward finansial yang menarik?
Memang sulit mengemas bisnis pertanian agar menarik, kecuali untuk perkebunan komoditas ekspor. Citra bisnis pertanian saat ini adalah marjin keuntungannya yang tipis dan risiko gagalnya yang besar, apalagi akibat ketidakpastian musim seperti sekarang ini.
Salah satu bentuk disinsentif adalah rendahnya dan ketidakstabilan harga komoditas pangan pokok. Karena merupakan komoditas strategis, pemerintah melakukan regulasi harga; tetapi di sisi lain, karena kapasitas kelembagaan dan anggarannya yang kurang memadai, stabilitas harga pangan tidak sepenuhnya mampu dikendalikan. Akibatnya, harga pangan domestik akan selalu rendah dan fluktuatif.
Beberapa pengusaha besar memang mulai menunjukkan ketertarikannya pada bisnis pertanian pangan, sebagai respons terhadap lonjakan harga pangan dunia saat ini, yang juga diprediksi akan tetap tinggi untuk beberapa tahun ke depan. Maknanya, para investor ini akan mengorientasikan bisnis pangannya untuk tujuan ekspor.
Ada kegembiraan dari masuknya pengusaha besar ke bisnis pangan ini. Tentu akan membuka kesempatan kerja dan mempermudah pemerintah mencapai status surplus pangan. Namun, tentu harus ada pengaturan yang adil, misalnya harus ada domestic market obligation bagi usaha besar ini.
Jangan sampai petani kecil menanggung beban memenuhi pasar domestik dengan harga jual yang rendah, sedangkan usaha besar menangguk keuntungan besar dari ekspornya ke pasar internasional dengan harga jual yang tinggi.
Dengan pengaturan yang bijak oleh pemerintah, geliat usaha pertanian pangan tidak hanya akan menjamin pasokan pangan domestik, memperoleh keuntungan dari tingginya harga pangan dunia, tetapi juga akan membuka kesempatan kerja bagi lulusan pertanian.
Ketidakmenarikan pendidikan tinggi bidang pertanian bisa karena faktor eksternal ataupun internal. Umumnya calon mahasiswa sekarang lebih realistis dalam memilih bidang ilmu yang akan digelutinya di perguruan tinggi. Peluang kerja setelah menyelesaikan studi menjadi faktor dominan dalam memilih bidang ilmu.
Kebutuhan tenaga kerja sektor pertanian sesungguhnya belum jenuh, masih cukup banyak kebutuhannya. Apalagi, karena sektor ini sedang terus digenjot pemerintah. Akan tetapi, relatif banyak alumnus pertanian yang bekerja di luar sektor pertanian dan banyak pula alumnus pertanian yang belum mendapat pekerjaan tetap setelah beberapa tahun selesai studi.
Kenyataan ini menjadi promosi negatif bagi para lulusan SMA. Dampaknya, dalam beberapa tahun terakhir ini minat masuk perguruan tinggi bidang pertanian terus merosot.
Selain perlu kebijakan makro untuk menaikkan harkat ekonomi pekerja sektor pertanian, tentu juga perlu reorientasi pendidikan tinggi pertanian. Perlu meninjau kembali kelayakan program-program studi yang ditawarkan. Perlu penyesuaian kurikulum agar lebih menyentuh realitas saat ini dan kebutuhan masa depan.
Akademisi perlu mempertajam sensitivitasnya terhadap dinamika dunia nyata dan secara cepat meresponsnya, antara lain dengan merancang kurikulum yang berkesesuaian dan mengisi muatannya yang relevan dengan kebutuhan nyata. Hanya ini yang akan membuat paket pendidikan tinggi pertanian menjadi kembali menarik.
Kita sudah tertinggal dalam berbagai bidang profesi, maka akan sangat ironis jika kita juga tidak mampu memenuhi kebutuhan sumber daya manusia (SDM) pertanian yang andal untuk mendukung pembangunan sektor perekonomian ini.
Benyamin Lakitan Ketua Komisi Teknis Bidang Pangan Dewan Riset Nasional sejak 2005
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar