Jumat, 08 Agustus 2008

Jangan sampai Kebablasan

KORPORASI PERTANIAN
Oleh Khairina
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 11 Juli 2008

The business of business is business (Milton Friedman, penerima Nobel Ekonomi tahun 1976)
Ini memang era corporate social responsibility (CSR) alias tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar berlomba-lomba melakukan ”sesuatu” untuk masyarakat sekitarnya. Berbagai bidang dirambah, mulai dari sektor lingkungan, pendidikan, hingga pertanian. Diawali oleh CSR, beberapa perusahaan akhirnya malah menemukan ladang bisnis baru.
Seorang pengusaha terkenal yang menjadi panelis dalam diskusi kedaulatan pangan di Kompas, akhir Juni lalu, mengaku terjun ke bisnis pertanian diawali oleh program CSR bidang penghijauan. Awalnya, ia hanya membuka pembibitan di lahan menganggur seluas 4-5 hektar, yang tadinya akan dibangun pabrik semen. Bekerja sama dengan seorang mantan pejabat yang peduli lingkungan, ia juga terlibat aktif dalam produksi dan pemasaran beras organik.
Kini sang pengusaha tertarik dengan energi alternatif atau biodiesel. Ia tertarik untuk mengembangkan pertanian pangan penghasil etanol, seperti jagung, singkong, dan tebu. Tidak tanggung-tanggung, panelis itu mengaku sampai melakukan studi banding ke Brasil.
”Di Brasil itu kalau ditonjolkan pertanian, ya benar-benar pertanian. Dagingnya sekarang nomor satu di dunia. Itu karena didukung oleh produksi jagung yang nomor satu. Gula juga mereka nomor satu, sekarang kedelai juga nomor satu, menyusul Amerika Serikat,” ujarnya gemas.
Ia lebih gemas lagi begitu mendengar anjuran seorang menteri di negeri ini agar dia berinvestasi di Brasil. Alasan sang menteri, tanah di Brasil sudah jelas subur dan negara Amerika Latin itu lebih siap menerima investor dalam bidang pertanian.
”Masak menteri malah ngomong seperti itu. Akhirnya saya buat perbandingan antara Merauke dan Brasil. Saya juga mengundang Bupati Merauke untuk menjelaskan apa permasalahan yang ada di sana,” katanya.
Di Merauke, ungkap sang panelis, ternyata banyak masalah, mulai dari infrastruktur, irigasi, sampai masalah hama dan malaria yang tak kunjung usai. Namun, daerah itu terbuka untuk ekstensifikasi. Ia akhirnya mengenalkan padi dengan sistem intensifikasi padi di Merauke. Ia bahkan menemukan satu transmigran asal Jawa yang cukup berhasil memiliki 330 hektar lahan pertanian di Merauke.
Di luar Jawa, kata panelis itu, memang harus dikembangkan pola korporasi pertanian. Namun, harus dipikirkan bagaimana agar komoditas pangan bertambah, kesempatan kerja terbuka, dan keadilan untuk seluruh masyarakat. Sebagai pebisnis, ia mengaku melihat peluang sangat besar di bidang pertanian, apalagi dengan harga pangan dunia yang meroket tinggi.
”Bahkan, perusahaan Jepang pun tertarik untuk berinvestasi di Merauke setelah mengetahui bahwa daerah ini memiliki potensi,” ujarnya.
Korporasi pertanian memang sudah merasuk sedemikian dalam. Beberapa memang menguntungkan petani, kendati pada banyak kasus, petani justru menjadi pihak yang paling terpinggirkan.
V Indra Cahyanta, Ketua Kelompok Tani Ngudi Mulyo, Sabrang, Sumber Mulyo, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta, mengaku sangat dibantu oleh sebuah perusahaan. Ratusan petani di daerah itu, yang tadinya hanya bertanam padi dan palawija, dibina untuk menanam kedelai hitam. Mereka diberi bibit unggul gratis, diberikan pelatihan agar hasil panennya sesuai dengan standar perusahaan, dan hasilnya lalu ditampung oleh perusahaan itu.
Ia mengaku, sejak dibina oleh perusahaan itu—yang bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM)—pendapatan petani meningkat. ”Hasil panen kami tertampung. Kami juga menentukan harga jual karena di awal kerja sama kami menandatangani perjanjian dengan perusahaan terkait harga jual,” katanya.
Kendati pun demikian, ia mengaku, pendapatannya sebagai petani kecil—yang memiliki lahan hanya 1.000 meter—sebenarnya tidak mencukupi. Sebagai gambaran, apabila dirata-ratakan per bulan, sebenarnya penghasilan bersih petani hanya Rp 50.000 rupiah.
”Itu pun hasilnya sudah lumayan dibandingkan dengan sebelum menjadi petani kedelai hitam,” tuturnya.
Dengan penghasilan sangat minim, Indra terpaksa mengandalkan sumber penghasilan lain. Di luar kegiatannya sebagai petani, Indra adalah sopir perjalanan. ”Petani yang lain juga rata-rata punya pekerjaan lain di luar bertani,” ujarnya.

Belum sejahtera
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih, sampai sekarang belum ada satu pun kasus dengan masuknya korporasi, petani menjadi sejahtera. Ia mencontohkan masuknya perusahaan agrobisnis dalam perkebunan sawit. Petani kecil dan masyarakat adat terpinggirkan karena tanahnya diambil alih oleh perusahaan.
Konflik tanah banyak terjadi di perkebunan sawit. Sementara itu, beberapa waktu yang lalu rakyat kesulitan membeli minyak goreng karena harganya meningkat. Perusahaan semakin senang dengan peningkatan harga karena pendapatan meningkat, sedangkan rakyat yang kelaparan.
”Ini sebenarnya sudah cerita lama dalam sejarah pertanian akibat dari pola inti plasma (nucleus-smallholder) sebagai salah satu bentuk agrobisnis melalui contract farming,” ujar Henry.
Dengan masuknya korporasi, kata Henry, peningkatan produksi memang terjadi, tetapi jutaan kaum tani dirugikan. Jadi, surplus ekonomi pertanian dan pangan yang dulunya meskipun kecil dapat dinikmati oleh petani, kini setelah masuknya perusahaan ke sektor pertanian menjadi milik perusahaan.
”Lihatlah sekarang makin sedikit petani kita yang memiliki kemampuan memproduksi pupuk, benih, dan juga ramuan tradisional pengendali hama. Semuanya harus dibeli ke perusahaan. Jika kemudian perusahaan tidak saja masuk input produksi, bahkan melakukan sendiri kegiatan produksi pertanian (on farm), makin habislah ekonomi yang bisa dinikmati rakyat,” ujarnya.
Guru besar Teknologi Pertanian UGM Mohammad Maksum berpendapat, investasi apa pun dalam bidang pertanian sebaiknya mempertimbangkan baik buruknya bagi petani. Selama ini, kata Maksum, petani lebih sering menjadi golongan yang terpinggirkan.
Kedaulatan atas tanah petani sangat tidak terjamin, demikian juga dengan kedaulatan akan hak ekonomi dan hak sosial. Tanah pertanian banyak digusur dengan alasan pembangunan. Petani tidak bebas menentukan hak ekonomi mereka, misalnya pupuk bersubsidi yang dikorupsi dan dalam beberapa kasus hak mereka untuk menerima beras miskin pun, misalnya, dirampas pula.
”Jangan sampai petani yang silent majority ini suatu saat berontak karena hak-hak mereka untuk berdaulat secara ekonomi kita kebiri,” ujar Maksum, yang juga peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM.

[Kembali]

Tidak ada komentar: