Jakarta, Kompas - Meski dinilai memberi sumbangan besar terhadap deforestasi di Indonesia dan emisi karbon, pembukaan lahan untuk kebun kelapa sawit terus berlangsung. Lahan kebun sawit 6,7 juta hektar di tahun 2007 akan menjadi 7,4 juta hektar pada 2008.
Tingginya permintaan pasar dunia akan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) memengaruhi perluasan lahan. Sejumlah daerah melaporkan tingginya permintaan lahan baru tersebut.
”Tidak semua perluasan membuka lahan baru. Dari total lahan yang akan ditanami, pembukaan lahan baru di bawah 200.000 hektar,” kata Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian (Deptan) Achmad Mangga Barani di Jakarta, Rabu (27/8).
Mangga Barani mengaku tidak tahu persis status lahan baru yang akan dibuka karena izin pembukaan lahan ada di tangan pemerintah provinsi dan kabupaten. Hanya saja, Deptan telah meminta agar izin baru tidak diberikan untuk lahan gambut hingga ada keputusan resmi—lahan gambut boleh dibuka atau tidak.
Hasil analisis gambar satelit Greenpeace tentang tutupan lahan antara tahun 2001 dan 2007 menunjukkan, konsesi kelapa sawit membuka lahan hutan aktif, di antaranya lahan gambut. Aktivitas itu berpotensi menghasilkan emisi 80-100 ton karbon dioksida (CO>sub<2>res<>res<) per hektar per tahun di luar kebakaran hutan.
Mengarah ke Papua
Sejumlah daerah yang akan dilakukan pembukaan lahan baru, di antaranya, Papua, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. ”Di masa mendatang akan banyak di Papua,” kata Mangga Barani.
Saat ini, ribuan hektar hutan di Papua menunggu waktu dibuka untuk kebun sawit. Sebaliknya, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) justru mengumumkan Visi Aceh Hijau, yang di antaranya menghentikan pembukaan hutan termasuk dari rencana kebun sawit.
”Kami sedang menginventarisasi kebun sawit yang terbengkalai, apakah mungkin dialihkan ke investor baru,” kata anggota tim pengelolaan hutan Aceh Wibisono. Mereka akan membuktikan bahwa investasi dapat berlanjut tanpa membuka hutan baru.
Kepada wartawan, Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun mengatakan, pembukaan lahan baru akan terus dijalankan asalkan sesuai dengan ketentuan pemerintah dan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Gapki, secara tegas, menolak tawaran jeda sementara (moratorium) pembukaan lahan gambut. Alasannya, prinsip-prinsip dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sudah cukup memenuhi tuntutan ramah lingkungan.
Hal senada diungkapkan Susanto, perwakilan PT SMART, anak perusahaan Sinar Mas Grup di bidang bisnis kelapa sawit. Perusahaan yang telah menanami lahan seluas 300.000 hektar itu menyatakan akan terus menambah produksi.
Ditemui di sela-sela pertemuan yang digelar Greenpeace Asia Tenggara di Jakarta, dua hari lalu (Selasa, 26/8), Susanto menegaskan, perluasan itu tidak akan membuka lahan gambut. ”Kami membukanya di area lain yang sudah dicadangkan pemerintah,” katanya.
Diakuinya, salah satu konsesi PT SMART dalam skala besar berada di Papua. Namun, ia tidak membenarkan total luasan hingga 1 juta hektar di pulau itu, seperti dilansir Greenpeace dalam laporannya berjudul ”Menggoreng Iklim”.
Ia hanya menyatakan, PT SMART per tahun akan menanami 10.000 hektar. ”Kami tak lagi membuka lahan dengan membakar sejak tahun 2.000-an,” ujarnya menanggapi tudingan pembakaran hutan yang banyak dilakukan perusahaan kelapa sawit. (GSA)
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar