Jumat, 08 Agustus 2008

Yang Menanam, yang Sengsara

NASIB PETANI KECIL
Oleh AHMAD ARIF
Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, 11 Juli 2008.
Matahari bulan Juli yang terik telah mengisap habis sisa air di sawah Sudarso (60), petani di Desa Ligung Kidur, Kecamatan Ligung, Majalengka, Jawa Barat. Tanah merengkah membuat tanaman padinya yang sudah saatnya penen itu mengering tanpa isi.
Siang itu Sudarso membabat tanaman padinya dan mengonggokkannya di sudut sawahnya. ”Hanya panen sepiring gabah. Sisanya hanya bisa untuk pakan ternak karena hampir semuanya puso,” kata Sudarso mengeluh.
Untuk biaya tanam dan biaya sewa lahan seluas 1.000 meter, Sudarso telah mengeluarkan modal Rp 1 juta. ”Yang Rp 750.000 berasal dari utang tetangga,” tambah Sudarso.
Jika panen berhasil, Sudarso diharuskan menjual padi ke tetangganya yang pemilik penggilingan padi. Biasanya dengan harga lebih rendah daripada harga pasar. Namun, panen padi Sudarso kali ini ternyata gagal. Utang pun tak bisa terbayar.
”Belum tahu harus membayar dengan apa. Untuk makan saja sulit,” katanya.
Menurut Sudarso, menanam padi seperti berjudi. Kadang berhasil, tetapi lebih sering gagal. ”Jika musim hujan sering kebanjiran, kalau kemarau kekeringan,” jelasnya. Meski sering kalah, Sudarso tak pernah bisa berhenti bertani.
Sudarso merasakan kehidupan petani semakin berat. Hampir semua hasil panen habis untuk menutup utang. Itu pun terkadang kurang. Tingginya biaya tanam—termasuk sewa lahan—telah menjerat petani-petani kecil seperti Sudarso ini.

Biaya tanam
Biaya tanam padi menjadi masalah yang diabaikan oleh pemerintah. Selalu saja yang menjadi perhatian adalah produktivitas pertanian dalam angka-angka nasional. Adapun masalah tingginya biaya tanam yang terkait erat dengan besar-kecilnya keuntungan bersih petani selalu saja diabaikan.
Petani kecil menjadi pihak yang harus menanggung beban tingginya biaya tanam yang terus naik, sedangkan kenaikan harga dasar gabah di lapangan lebih banyak dinikmati oleh pengusaha dan pedagang.
Di berbagai daerah yang tak terlayani irigasi teknis, biaya tanam yang dibebankan kepada petani ini ditambah dengan biaya untuk irigasi yang sangat mahal. Petani harus mengeluarkan uang untuk menyedot air menggunakan pompa.
Misalnya di Indramayu dan Cirebon, yang merupakan lumbung padi nasional, setiap memasuki musim tanam kedua (antara periode Mei hingga Juli) petani di sawah primer yang harusnya teraliri irigasi terpaksa harus menggunakan pompa untuk mengairi sawah mereka. Sebab, air dari saluran irigasi tak sanggup mencapai sawah mereka.
”Biaya untuk mengairi sawah saat ini sudah hampir sama dengan biaya pupuk dan pestisida dalam satu musim tanam, mencapai hampir Rp 1 juta per hektar,” jelas Maryadi (43), petani di Desa Kalideres, Kecamatan Kaliwedi, Cirebon.
Tak hanya menyangkut masalah ekonomi, kelangkaan air telah memicu konflik antarpetani. ”Setiap musim kemarau seperti sekarang ini kami harus terus bergerilya mencari air. Tahun lalu terjadi bentrok antara petani Indramayu dan Cirebon,” tambah Maryadi.
Kenyataan ini menguatkan paparan seorang panelis diskusi tentang ketahanan pangan yang diselenggarakan harian Kompas, akhir Juni lalu. Sang panelis mengungkapkan bahwa saat ini infrastruktur irigasi sangat memprihatinkan. Dari 8,6 juta hektar sawah, hanya 11 persen yang diairi irigasi dari waduk. Dari saluran irigasi tersebut, banyak di antaranya yang sudah tergolong rusak ataupun debit airnya tidak lagi memadai.

Dogma revolusi hijau
Pemerintah sepertinya tak pernah beranjak dari dogma revolusi hijau yang hanya berorientasi untuk mendongkrak produktivitas sektor pertanian, tetapi melupakan petani kecil yang banting tulang menanam padi.
Hasil penelitian Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan, sebanyak 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar. Dengan luas lahan ini, petani hanya mendapatkan keuntungan semusim antara Rp 325.000 hingga Rp 543.000 atau hanya Rp 81.250 hingga Rp 135.000 per bulan.
Jika setiap rumah tangga petani memiliki anggota keluarga empat orang, pendapatan per kapita komunitas petani hanya sekitar Rp 34.000 per bulan. Ini berarti setara dengan Rp 400.000 per tahun (pendapatan ini lebih rendah daripada tingkat upah minimum per bulan yang diterima tenaga kerja di sektor formal).
Perhitungan itu hanya berlaku jika panen berhasil. Lalu, bagaimana jika gagal panen?
”Sudah dua tahun kami tak berani menggarap lahan. Biaya tanam terlalu besar. Hidup kami bergantung pada kiriman uang dari anak yang bekerja di Surabaya sebagai buruh bangunan,” kata Dalisah (55), petani penggarap di Desa Compreng, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Sebelumnya, petani-petani ini tak pernah mengenal kata utang. ”Dulu semua dikerjakan sendiri. Benih kami punya sendiri, pupuk dari kotoran ternak sendiri. Paling hanya butuh bantuan mengolah tanah, yang biasanya maron (sistem bagi hasil),” kata Sulasih, petani dari Desa Compreng.
Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Mubiar Purwasasmita mengatakan bahwa kunci dari peningkatan kesejahteraan petani adalah dengan meningkatkan kemandirian mereka. ”Petani harus didorong menggunakan benih padi nonhibrida, pupuk organik, dan pestisida organik yang bisa dibuat sendiri,” tuturnya.
Selain mengurangi biaya tanam, hal tersebut juga akan memperbaiki kualitas tanah, yang dalam jangka panjang akan menguntungkan petani. ”Tanah yang selalu diberi pupuk kimia dan pestisida akan tandus serta membutuhkan biaya pengolahan yang terus naik,” jelas Mubiar.
Seorang panelis diskusi menyebutkan, ketersediaan pupupuk kimia bersubsidi untuk petani saat ini juga mengkhawatirkan. Di samping banyaknya kebocoran ke luar negeri, yang menyebabkan kelangkaan pasokan di petani, pasokan gas untuk pabrik pupuk juga tak memadai.
Apa jadinya jika kemandirian petani untuk menyediakan pupuk secara mandiri sudah dipangkas, sedangkan pemerintah yang selama ini menyediakan pupuk bersubsidi gagal memenuhi kewajibannya?

[Kembali]

Tidak ada komentar: