Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 6 Agustus 2008.
Catu (36) selonjor di bawah pohon randu di pinggir sawah di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Meski sedikit mengantuk, kedua bola matanya tetap awas memerhatikan lima kambingnya yang merumput di tengah sawah yang kering.
”Semua sawah di sini puso. Tidak ada padi yang selamat karena tidak ada air di sungai. Semuanya mati,” kata Catu sedih, Senin (4/8) siang.
Sejak April lalu, kekeringan mulai melanda Losarang. Air susah dicari dan debitnya sangat sedikit. Namun, petani tetap menanam padi dengan harapan masih akan turun hujan satu atau dua kali. Sayang, harapan itu tidak terwujud. Selama Juli sama sekali tidak turun hujan dan sebulan sebelumnya hanya sekali.
Catu memang hanya memiliki sawah 160 bata atau sekitar seperempat hektar. Tanaman padinya tidak luput dari puso alis gagal panen karena kekeringan. Padahal, tanaman padi sudah berusia dua bulan dan mulai keluar bulir biji padi. Semua kering dan gagal dipanen karena tidak ada air sedikit pun untuk membasahi sawahnya.
Padahal, modal yang dia keluarkan cukup banyak. Hingga dua bulan tanam, untuk membeli benih, pupuk, obat-obatan, ongkos traktor, dan menyewa pompa air mencapai Rp 575.000. Biasanya, ongkos produksi satu kali musim tanam Rp 800.000. Itu berarti, dua pertiga modalnya melayang bersama mengeringnya sawah yang menjadi sumber utama hidup keluarga.
Hilangnya modal itu belum termasuk potensi pendapatan gabah dari seperempat hektar sawahnya yang mampu menghasilkan 1,5 ton gabah kering panen (GKP) saat musim rendeng. Jika harga GKP terendah di Losarang Rp 2.300 per kilogram (kg), potensi pendapatan yang raib Rp 3,4 juta.
Bukan hanya Catu yang mengalami nasib pahit karena puso pada musim gadu (musim tanam kedua) tahun ini. Waslim (70), petani di Desa Kertasari, Kecamatan Losarang, juga rugi sampai Rp 3 juta karena sawahnya seluas satu bata (0,7 ha) kering kerontang tanpa air. Sumur juga tak bisa diharapkan karena air yang keluar itu asin.
”Air tidak bisa dipakai untuk mengairi sawah, sementara air di sungai tidak cukup,” ujar Waslin, yang sekarang menjadi penggarap tambak garam untuk menghidupi keluarganya.
Menggembala kambing
Sejak tanaman padi di sawahnya puso, Catu menggantungkan hidup dari kaleng bekas, besi tua, gelas, dan botol plastik yang dipulung dari pasar atau kampung sekitar desanya. Tulang punggung keluarga itu terpaksa menjadi pemulung agar bisa memperoleh penghasilan Rp 10.000-Rp 15.000 per hari.
”Daripada menganggur, saya cari rongsokan. Lumayan, sambil angon kambing punya orang dari pagi sampai siang,” katanya.
Catu sedang apes karena dari delapan kambing yang digembalakannya, tiga ekor mati dan hilang. Oleh karena itu, selain harus mengganti kambing yang hilang dan mati, dia harus mencari uang untuk makan keluarga.
Menggembala kambing jadi alternatif petani yang sawahnya puso. Penggembala mendapat anak kambing yang lahir dari induk yang digembalakan.
Alternatif lain yang dilakukan petani agar tetap bertahan hidup adalah menjadi buruh di tambak garam dan buruh pikul garam, yang biasa disebut pengojek garam. Upahnya, kata Waslim, sehari Rp 30.000-Rp 50.000, tergantung dari jumlah garam yang dipanen. Adapun untuk pengojek garam, upahnya Rp 2.500 per kuintal yang diangkut menggunakan sepeda dari tambak menuju tempat pengepul.
Dalam sehari, pengojek bisa mengangkut 5-10 kuintal karung garam kasar sehingga mendapat upah Rp 12.500-Rp 25.000.
Mengemis di Jakarta
Selain bekerja di kampung sendiri, banyak petani yang gagal panen mengadu nasib ke Jakarta. Menurut Catu, kebanyakan warga dari Losarang yang mengemis di jalan-jalan besar ibu kota berdomisili di Depok dan Manggarai. ”Banyak orang Indramayu, dari Kecamatan Jatibarang hingga Patrol, yang menjadi pengemis di Jakarta, terutama saat paceklik atau gagal panen,” ujarnya.
Mereka memilih merantau di Jakarta karena penghasilannya lumayan besar, bisa Rp 70.000 per hari. Dipotong uang sewa perlengkapan ngamen dan makan, mereka bisa mengantongi Rp 30.000 per hari untuk disimpan. Uang itu nantinya sebagai modal tanam musim rendeng atau membayar utang karena gagal panen seperti saat ini.
”Banyak petani stres karena utangnya menumpuk. Mereka pergi ke Jakarta untuk cari uang. Caranya mengemis,” kata Catu, yang pernah jadi pengamen di Jakarta selama tiga bulan.
Sebagian lagi, katanya, merantau ke Riau menjadi buruh perkebunan sawit. Upahnya Rp 30.000 per hari ditambah makan siang. ”Bulan depan saya ke sana setelah menggadaikan sawah untuk membayar utang.”
Hingga akhir Juli, sawah puso di Indramayu mencapai 22.870 ha yang tersebar di 20 kecamatan. Kecamatan yang parah, jauh dari sumber air dan bendung, seperti Losarang, Kandanghaur, Sliyeg, Cikedung, Lelea, Terisi, Juntinyuat, dan Kroya.
(timbuktu harthana)
[Kembali]
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar