Diunduh dari Rubrik FOKUS di Harian KOMPAS, Jumat, 8 Agustus 2008, halaman 46.
Dunia saat ini tengah mengalami demam akibat gelombang pasang inflasi. Lonjakan harga minyak mentah, komoditas pangan, dan komoditas lain, membuat inflasi di 50 dari 110 negara, menurut data Goldman Sachs yang dikutip Newsweek, sudah di atas dua digit. di Beberapa negara bahkan sudah terjadi hiperinflasi.
Di Vietnam inflasi tahun ini diprediksikan 26 persen. Di Zimbabwe inflasi sudah mencapai 164.900 persen, Venezuela 30 persen, Kenya 27 persen, Pakistan 19,3 persen, dan India 11 persen. Di Indonesia inflasi yang tahun lalu hanya 6,59 persen, tahun ini diperkirakan 11,5-12,5 persen, bahkan bisa lebih tinggi.
Sepertiga negara berkembang sekarang ini, menurut Bank Dunia, mencatat inflasi di atas 10 persen dan di 21 negara inflasi meningkat sudah lebih dari 5 persen. Dari catatan Bank Dunia, ini adalah yang pertama kalinya sejak tahun 1973, lonjakan harga minyak dan komoditas pangan terjadi secara berbarengan.
Kombinasi kenaikan harga dua komoditas ini sangat memukul, terutama untuk negara-negara miskin, dengan dampak ke perekonomian nasional di lebih dari 15 negara sedang berkembang mencapai 10 persen lebih dari produk domestik bruto. Sementara itu, ruang manuver secara makroekonomi untuk bisa merespons kondisi tersebut juga sangat terbatas.
Dampak paling riil dari lonjakan harga tersebut adalah meningkatnya tekanan inflasi, membengkaknya defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintah yang mengakibatkan menyusutnya pula anggaran untuk subsidi kelompok miskin. Hal itu selanjutnya kian membahayakan kelompok miskin, kelompok yang paling rentan terhadap lonjakan harga.
Bagi perekonomian global, itu juga mengancam pertumbuhan dan membuat berbagai kemajuan yang telah dicapai, terutama dalam pemberantasan kemiskinan di banyak negara miskin, juga terancam lenyap dalam sesaat. Jumlah penduduk miskin diperkirakan meningkat dari 73 juta jiwa menjadi 105 juta jiwa.
Sejak Januari 2006 harga terigu tercatat sudah melonjak lebih dari dua kali lipat, dengan 60 persen lebih kenaikannya terjadi sejak Januari 2008. Untuk beras, bahkan harga sudah naik tiga kali lipat lebih hanya dalam kurun Januari-Mei 2008. Untuk jagung, kenaikan 125 persen dan kedelai 107 persen.
Sementara itu, harga minyak mentah naik dari hanya 20 dollar AS per barrel pada tahun 2001 menjadi di atas 140 dollar AS per barrel sekarang ini. Sejak Januari 2008 saja harga minyak sudah naik lebih dari dua kali lipat. Lonjakan harga komoditas pangan ini terjadi karena kombinasi berbagai faktor, baik itu struktural maupun nonstruktural.
Faktor-faktor itu, yakni naiknya harga energi dan pupuk, depresiasi nilai tukar dollar AS, konversi dalam skala masif komoditas pangan ke bahan bakar nabati (biofuel), serta menyusutnya stok pangan (biji-bijian) global sebagai akibat dari perubahan kebijakan menyangkut buffer stock di AS dan Uni Eropa. Ini masih ditambah dengan kekeringan di Australia dan meningkatnya permintaan dari berbagai negara.
Di luar semua faktor tersebut, masih ada peranan spekulan, yakni para hedge funds dan investor komoditas yang juga ikut memicu kenaikan harga.
Semua faktor tadi masih ditambah dengan kebijakan beberapa negara eksportir dan importir utama pangan yang sifatnya kontraproduktif. Termasuk larangan ekspor beras oleh India dan China atau larangan impor gandum oleh Argentina, Kazakhstan, dan Rusia. Larangan ekspor dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri ini segera diikuti oleh negara-negara produsen lain, seperti Vietnam dan Mesir, untuk beras sehingga membuat pasokan di pasar dunia menipis dan harga kian melonjak.
Begitu juga aksi importir beras besar, seperti Filipina yang mengadakan tender besar-besaran pengadaan beras impor di tengah kepanikan dunia, juga menjadi pemicu.
Bertanggung jawab
Menurut Bank Dunia dan PBB, AS dan Uni Eropa adalah pihak yang paling pantas disalahkan atas lonjakan harga pangan yang menempatkan lebih dari 100 juta penduduk dunia dalam ancaman kelaparan sekarang ini.
Laporan Bank Dunia yang sempat bocor menyebutkan, 75 persen kenaikan harga komoditas pangan akhir-akhir ini adalah akibat konversi komoditas pangan ke bahan bakar nabati. Sementara itu, meningkatnya permintaan negara-negara berkembang, seperti India dan China yang sering dituding AS sebagai pemicu kenaikan harga pangan, justru tidak banyak berpengaruh pada harga.
Kebijakan Pemerintahan AS dan Uni Eropa yang merangsang produksi biofuel, termasuk lewat pemberian subsidi, membatasi impor, dan mewajibkan penggunaan biofuel di dalam negeri, memicu konversi secara besar-besaran penggunaan komoditas pangan untuk bahan bakar nabati. Di AS sendiri, 40 persen produksi jagung untuk etanol.
Bank Dunia, USDA, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), serta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memprediksikan kecenderungan naiknya harga pangan masih akan berlangsung hingga 2009 sebelum akhirnya mulai menurun, kendati tak akan pernah bisa kembali ke level sebelum 2007.
Jean Ziegler, Pelapor Khusus PBB untuk hak atas pangan, menyebut, konversi ke biofuel dengan mengorbankan akses pangan bagi jutaan penduduk miskin sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
(sri hartati samhadi)
[Kembali]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar